LAPORAN OBSERVASI
Agama-agama Lokal
Suku Baduy
Disusun oleh:
Angga pratama (11160321000015)
Rizki Hidayat (11160321000026)
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Suku baduy
merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar
5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa
Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan
sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para
peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah
atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan
banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka
menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang
suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu “urang kenakes”
atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di
Kenakes.
Masyarakat suku
baduy benar-benar menjaga adat istiadat dan sangat menjaga alam sekitarny.
Karena mereka sadar mereka hidup oleh alam dan berdampingan dengan alam. Banyak
ajaran suku baduy yang berupa larangan bila diabaikan akan terkena hukum alam.
Di provinsi
Banten terdapat suku asli yaitu suku baduy dalam dan suku baduy luar. Suku
baduy dalam masi menjaga tradisi, adat istidat dan anti modernisasi baik cara
berpakaian, pola hidup dan lainnya. Sedangkan suku baduy luar masih menjaga
tradisi dan adat istiadat tetapi sudah mampu beinteraksi dengan masyarakat dari
luar suku baduy.
Berdasarkan
data yang diperoleh oleh Tim Social Forestry Indonesia, Banten merupakan
wilayah yang berhutan paling luas di Jawa barat dengan 354.970 ha. Jenis
vegetasinya antara lain, Rasamala, Saninten dan Nyamplung. Di wilayah hutan
Banten itulah terdapat Desa Kanekes yang luasnya 5.101,85 ha. Dengan jumlah
masyarakatnya sekitar 5.000 orang yang tersebar di 10 kampung (dalam Wilodati,
1985:7). Desa Kanekes adalah suatu daerah yang hampir tanpa daratan, karena
hampir keseluruhan wilayah Desa Kanekes adalah dataran tinggi yang berbukit bukit
BAB II
2.1. Kearifan
Suku Baduy
Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup,
artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian
mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat di
Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah
ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh
masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun
memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem
berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang,
Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara
Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung,
serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana
yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat
Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan
penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan
seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Masyarakat Kanekes yang
sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat
terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia
luar.
Berdirinya Kesultanan Banten yang secara
otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari
kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten. Sampai
sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa
menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten
(sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang
pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar,
misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh
Nilai-nilai
kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam
kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi
kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang
ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy
memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik,
sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan
menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang
menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat,
tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia
dalam pupuk yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat
Baduy bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga
keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam
penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan
biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat
meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut
tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat
gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy
Hasil panenan
suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh dijual, padi hanya untuk kebutuhan
mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil panenan
lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan ini
juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy. Untuk memenuhi kebutuhan
tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara adat mereka menjual madu,
kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll, uang yang didapatkan dari
hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kebutuhan yang tidak
mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat
terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga
sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya
sampai ke kota.
Kehidupan
mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang
penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting
lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi
mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah
segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan
sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.
Baduy dalam dan baduy luar
Pemimpin adat
tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga
kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak
otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu
jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang
memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari
pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke
dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro
pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada
warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga,
mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar
Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang
jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas
Berada di perkampungan
Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu. Masyarakatnya
masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada sentuhan
teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang dan gelap
datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada hanya
kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak kelapa
atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang terdengar
hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan, suara
kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan.
Peta suku baduy
2.2. Mata
pencharaian suku baduy
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah
bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan.
Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat
Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin
diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat
yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang
erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka
diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar
wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah
yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan
mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya
dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy
menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga
membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi
orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung,
dan Ciboleger.
Hasil pertanian mereka berupa beras
bisanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras
meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja yang
bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah
terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes
adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun.
Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual
buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam
keranji, serta madu hutan.
Lumbung padi(leuit)
Dari segi berpakain,
didalam suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada
jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy
Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut
jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak
memakai kantong baju. Warna busana mereka
umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak
boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas
asli yang ditenun.
salah satu kerjainan tenun suku baduy
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung
warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian pinggang.
Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta
pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih.
Ikat kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang
panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy
yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna
suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai
adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua
dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju
yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan
kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni.
Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit
kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari warna, model
ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah
terpengaruh oleh budaya luar.
REFERENSI
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari
Kanekes: Ketegaran Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah Seminar Sehari
Dengan Orang Baduy). Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.
Nababan, A.1995.Kearifan
Trodisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.Jurnal Analisis CSIS:
Kebudayaan, KearifanTradisional, & Pelestarian Lingkungan.Tahun XXIV No. 8
tahun 1995