Jumat, 11 Mei 2018

Profile Blog

Dosen Pengampu:




Nama                        : Siti Nadroh, M.Ag
T.T.L                         : Malimping, 14 - Juli - 1971
Riwayat Pendidikan  :

1. SD Malingping I dan MI Mathla’ul Anwar Malingping (1978 – 1984),
2. MTs Mathla’ul Anwar Malingping (1985 – 1987),
3. MAN Pemalang 3 Ciputat (1987 – 1990),
 4. S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1990 – 1994),
5. S2 Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang (1995 – 1996),
6. S3 IAIN Jakarta (1996 – 1997).




Pembuat Blog:




Nama                            : Angga Pratama 
NIM                             : 11160321000015 
Alamat                         : Bumi Di Pasena Jaya,Kec Rawa Jitu Timur, Tulang Bawang, Lampung 
Tempat Tanggal Lahir : Lampung 10 Maret 1996
 Hobi                           : Menolong Orang
 Cita-cita                      : Jadi orang baik









Nama                            : Rizki Hidayat
NIM                              : 11160321000026
 Alamat                         : Jombang, Sudimara, tang-sel
 Tempat Tanggal Lahir : Jombang 26 Febuaru 1997
 Hobi                            : Jalan jalan
Cita-cita                       : Menjadi Tokoh Revolusi

Makalah suku ende


A.    Sejarah kebudayaan suku ENDE-LIO di FLORES
Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat dua (2) suku yang mendiami daerah tersebut, yakni suku Ende dan Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah pegunungan. Lokasinya sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende bermukim di daerah pesisir yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama, yang membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan suku asli daerah Lio dengan ajaran Kristen Katolik yang dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang dibawah oleh pedagang-pedagang dari Sulawesi, yakni Makasar.
Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh kaum pedagang dari Makasar adalah lokasi bermukim suku Ende yang terletak di daerah pesisir pantai. Mengingat jalur penghubung menuju daerah luar pada saat itu hanya melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang menghubungkan jalur perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka pada hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa kedatangannya diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang tersebut datang, mereka disambut baik dan ramah oleh masyarakat setempat. Merasa kedatangan mereka diterima, sebagian dari pedagang tersebut bahkan ingin menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang masyarakat suku asli Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua etnis ini membangun rumah dan perkampungan adat dengan menggunakan teknologi dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua etnis dalam satu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan leluhur, walaupun di beberpa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi pencinta wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat yang memiliki tradisi tersebut adalah kampung-kampung tradisional yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Pu’utuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal yang masih utuh bangunannya adalah di Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona. Perkampungan tua yangm menarik dan mempunyai bentuk rumah yang unik dengan arsitektur khas Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti di pulau Jawa–namun berbeda latar belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang dibangun nenek moyang tersebut, memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya sehingga tampak unik dan memberikan kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi budaya akibat masuknya etnis pendatang dari luar, seperti dari Bugis, Makasar dan Bima telah mempegaruhi kehidupan budaya masyarakat setempat. Pada awalnya nenek moyang Ata Ende membangun rumah dan perkampung adat sama seperti Ata Lio, namun pada perkembangannya mengalami perubahan yang kemudian disebut “Sa’o Panggo” atau “Tiga Tezu” (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana tiang dan lantainya terbuat dari balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap daun kelapa atau sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias seperti sirip ikan. Rumah ini memiliki kolong.


Makalah suku Alas


Pendahuluan  
Keberagaman budaya suku bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang terdapat dalam tanah air kita ini. Hal itu pertanda Indonesia memiliki beragam kesenian yang tercipta dari masing-masing suku bangsanya.Setiap suku bangsa pasti memiliki ciri khas masing-masing, samahalnya dengan kesenian yang berasal dari masing-masing suku pasti memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Berbagai suku dari berbagai daerah di Indonesia melahirkan berbagai bentuk kesenian, baik berupa seni tari, seni musik, seni rupa dan seni drama.Menurut Susanne K. Langer, “Tari adalah bentuk yang diungkapkan manusia untuk dinikmati dengan rasa”,sedangkan menurut Soedarsono“Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang dilahirkan melalui gerak yang indah dan ritmis”. Dari  pendapat mengenai tari dapat disimpulkan bahwa tari merupakan gerak-gerak yang disampaikan oleh tubuh sebagai media dan memiliki keindahan. Tari memilik elemen-elemen dasar yaitu:tema, gerak, iringan tari, tata rias,tata busana, tempat pementasan,setting, lighting, dan properti. Tari merupakan salah satu bagian dari kesenian yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat.Dapat disimpulkan bahwa suatu tarian bisa dikatakan sebagai ciri dari masyarakat tersebut.Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu Kabupaten di Aceh,Indonesia. Aceh Tenggara didiami oleh berbagai macam suku, salah satu suku yang sangat mendominasi ialah suku Alas. Hampir tidak pernah terdengar sama sekali keributan yang melibatkan suku, agama, dan ras2 pada daerah ini dan masyarakatnya mampu menjaga perdamaian sampai saat ini.Suku Alas merupakan suku yang mendominasi di Kabupaten Aceh Tenggara, suku Alas sering disebut Ukhang Alas atau Kalak Alas sedangkan untuk daerahnya disebut dengan Tanoh Alas. Alas dapat diartikan tikar, penamaan tersebut dikarenakan wilayah tanah Alas membentang seperti tikar dan cocok sebagai daerah pertanian, dan juga masyarakat
Alas khususnya para wanita Alas sering menganyam tikar di sela-sela kesibukan mereka bertani Landok Alunmerupakan salah satu jenis tari tradisional yang ada dan tumbuh di suku Alas. Tari Landok Alun tercipta dan berkembang sekitar tahun 60-an didesa Telengat Pagan, Kecamatan Semadam, Kabupaten Aceh Tenggara dan diciptakan oleh masyarakat suk Alas.Tari Landok Alun, yang memiliki arti Landokberarti menari dan Alun berarti berlahan-lahan, sehingga Landok Alunberarti menari dengan perlahan atau menari dengan pelan dan lambat. Tarian ini diciptakan hanya untuk sekedar hiburan rakyat dan tarian ini ditarikan oleh dua sampai empat orang penari pria.Alunberarti lambat,ruang gerak tarian Landok Alunini tidak jauh berpindah-pindah Menurut sejarah,Landok Alun berawal saat masyarakat mencari dan menemukan lahan pertanian yang lokasinya sangat luas, rata dan mudah mendapatkan air untuk diolah menjadi lahan pertanian, dalam proses pencarian lahan pertanian maka lahan yang dicari berhasil ditemukan, disitulah para pencari merasa sangat gembira dan 3 bersyukur karena telah menemukan lahan yang diinginkan. Kemudian mereka menceritakan kronologi pencarian lahan hingga menemukan lahan tersebut kepada teman-teman sekampung, semua yang mendengar terpukau dan merasa terhibur atas peragaan gerakan-gerakan yang mereka lakukan saat menemukan lahan tersebut, mereka merasa terhibur dan mengulangi gerakan gerakan tersebut serta di angkat menjadi sebuah tarian.



Pembahasan
Sejarah suku alas
Ukhang Alas atau biasa disebut juga khang Alas atau Kalak Alas telah lama bermukim di lembah Alas, hal ini dibuktikan jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas telah tercatat dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing) keturunan Raja Pandiangan di Tanah Batak. Beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING, keturunan dari Raja Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.
Mata pencharian
Mata pencaharian suku Alas adalah pertanian dan peternakan. Pertanian dapat berupa menanam padi, karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan untuk peternakan mereka memelihara kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Agama
Suku Alas menganut ajaran agama Islam. Tetapi masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Alas (Cekhok Alas) Bahasa ini merupakan rumpun bahasa dari Austronesia suku Kluet di kabupaten Aceh Selatan juga menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan bahasa suku Alas.

Upacara adat istiadat
Upacara adat istiadat yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah ‘Turun Mandi’, ‘Sunat Khitan’, ‘Perkawinan’, dan ‘Kematian’. Pada setiap kegiatan ini dikenal beberapa budaya tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan posisinya dalam struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku Alas yaitu Wali, Sukut/Senine, dan Pebekhunen/Malu. Adapun bentuk tolong-menolong yang dilakukan adalah

1. Pemamanen, yaitu panggilan yang diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu ayah dan saudara lelaki dari perempuan (Malu) yang mempunyai hajatan. Pada setiap acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran penting karena mereka adalah tamu yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka akan membawa bantuan kepada tuan rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk materi atau sejumlah uang. Semakin tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi pula prestige yang mereka dapatkan. Begitupula tuan rumah merasa lebih dihormati dan dimuliakan. Slogan yang menjadi failosofi budaya ini adalah Besar wali karena malu, besar malu karena wali.
2. Tempuh, artinya bantuan yang diberikan oleh saudara dekat atau diistilahkan dengan kelompok sukut artinya orang yang punya kerja (saudara kandung atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan ini terkadang ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak ditentukan, sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang disesuaikan dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya pertalian kekerabatan yang dimiliki.
3. Nempuhi Wali artinya membantu wali, bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan atau saudara perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu suaminya kepada pihak wali yang mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap kegiatan bantuan yang mereka berikan adalah dalam bentuk tenaga, misalnya bertanggung jawab di dapur dalam menyiapkan hidangan dan membereskannya. Sebenarnya Nempuhi Wali ini merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak hanya pada kegiatan yang menyangkut adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari seperti membantu di sawah dan lain-lain.
Marga
Menurut buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC (2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu : Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Teriga



Kamis, 10 Mei 2018

VIDIO OBSERVASI

 VIDIO OBSERVASI SUKU BADUY







Vidio Suku ENDE

1.     ACARA ADAT FLORES 
           Sewu Api dalam bahasa Lio, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, berarti memadamkan api. Sewu Api merupakan sebuah upacara adat, yang diselenggarakan setiap akhir tahun oleh Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende. Upacara Adat Sewu Api bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau dan mengawali musim tanam. Selain itu, acara ini untuk syukuran atas keberhasilan sekaligus mendoakan kesuburan pada musim tanam yang akan dating






2. JEJAK ANAK NEGERI - ACARA ADAT MASYARAKAT SUKU LIO ENDE 
          Masyarakat adat Ende Lio menjadi salah satu suku besar di tengah Pulau Flores. Seperti masyarakat adat Ende lainnya, disini adat dan budaya masih dijunjung tinggi dan penting dalam kehidupan keseharian warganya. Salah satunya adalah tradisi Gunting Rambut atau Guti Fu, yang merupakan wujud syukur atas kehidupan yang telah diberikan.  






3.      KOTA ENDE FLORES – NTT
            Suku Ende, merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.Suku Ende di kabupaten Ende hidup bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.







4.      SAGA Kampung Adat di Ende Flores
        Salah satu entitas budaya yang masih terus dipertahankan keberadaannya hingga kini oleh masyarakat adat Flores pada umumnya dan Ende-Lio pada khususnya yakni rumah adat. Dalam bahasa Ende-Lio, rumah adat dikenal dengan sebutan sa'o nggua.
          Seperti halnya di daerah-daerah lain di Flores, pemaknaan terhadap rumah adat dalam tradisi budaya Ende-Lio menegaskan identitas historis, simbol kewibawaan para pemangku adat (mosalaki), pusat segala ritual adat serta roh pemersatu masyarakat adat. Dengan keyakinan ini, lazimnya rumah adat selalu dibangun di tengah-tengah kampung yang dilengkapi dengan barang-barang warisan leluhur seperti gendang (lamba), gong (nggo), tempat sesajian (bhaku), mesbah persembahan (musu mase/tubu musu) juga pakaian adat









Jurnal Suku ENDE

1.            Arsitektur tradisional sao keda Suku Ende Lio benar-benar merupakan ungkapan dan cerminan sosial budaya masyarakatnya, sebagaimana dijelaskan didalam bagianbagain strukur konstruksi  yang ada di permukiman adat desa Wolotolo. Sehingga setiap hasil karya yang diciptakan tersebut benar-benar mempunyai landasan yang kuat dan khas, baik strukturnya, bentuk, tata ruang, dan juga pemakaian ornamenornamennya. Bentuk yang khas dan spesifik tersebut mampu menampilkan bentuk yang selaras dengan lingkungannya, walapun ada kontradiksi bentuk yang ditemukan tetapi ada keserasian antara alam dan lingkungan binaan yang diciptakan. Sehingga bentuk yang mempunyai dasar yang kuat dan ciri khas tersebut mudah diingat dan dikenal orang pengamat sebagaimana elemen-elemen yang ditampilkannya secara kompak dan menyatu.




2.        Kerajaan Ende muncul menjelang kedatangan Islam di Flores Nusa Tenggara Timur. Kekuatan Portugis terbatas hanya di bagian Timur Flores seperti Larantuka dan Sikka. Sementara itu, Islam berpengaruh dibagian Barat Flores. Area tenang seperti Ngada yang masih didominasi paham animisme.Perkembangan Islam di Flores didominasi oleh faktor politik ketika perluasan Kesultanan Sumbawa dan Goa Makassar. Faktor lainnya, yaitu kondisi alami atas perkembangan penduduk yang menimbulkan pola komunikasi sulit di antara sesama penduduk. Pendidikan Islam belum berkembang, sehingga Islam tidak begitu berkembang, seperti di daerah lain Sumantera, Jawa dan Sulawesi. Artikel ini, mencoba menghadirkan beberapa informasi yang menjadi pengimbang dalam peran agama. Pada beberapa publikasi Sejarah Kerajaan Ende sangat terbatas, sehingga memperburuk keberadaan Kesultanan Islam di Flores.  



3.Permukiman Adat Desa Wolotolo merupakan bagian dari permukiman Suku Ende Lio yang berada di Kabupaten Ende. Jarak permukiman Adat Desa Wolotolo dari pusat Kota Ende Sekitar 20km. Seperti permukiman Suku Ende Lio pada umumnya, Desa Wolotolo sendiri merupakan desa yang masih menjaga adat istiadat budaya Suku Ende Lio. Hal ini bisa dilihat dari pola permukimannya yang masih memegang nilai-nilai budaya dan tradisi setempat.  Permukiman adat Suku Ende Lio di Desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosa Laki (Kepala Suku) dan tujuh Kopo Kasa (Wakil Kepala Suku). Kepala Suku dan Kopo Kasa memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat Kepala Suku bertempat tinggal di sao ria (Rumah Besar) masing-masing.. 




4.           Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur sebagai salah satu wilayah persebaran penduduk Austronesia di Asia Tenggara, menjadi wilayah kajian Antropologi sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1935, J.P.B. de Josselin de Jong memperkenalkan konsep dasar kajian-kajian pembahasan dengan judul “De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld” di Universiteit Leiden. Konsep dasar ini secara garis besar membahas mengenai adanya kesamaan dan keselarasan dari karakteristik budaya yang umum ditemukan dan direfleksikan dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini pun kemudian berkaitan erat dengan tulisan “Sociale structuur typen in de Groote Oost,” yang ditulis oleh F.A.E. van Wouden di tahun yang sama. Menurut van Wouden suku bangsa di wilayah Nusa Tenggara khususnya, memiliki tipe struktur sosial yang menunjukkan pola yang sama. Selain itu, hasil penerapan metode komparatifnya pada suku bangsa di pulau Sumba, Flores, Buru, Ambon, Seram dan Timor, mengenai sistem klen, mitos-mitos, dan pengorganisasian sosial, serta bentuk kesatuan-kesatuan politik asli menunjukkan pola yang kurang lebih sama (van Wouden 1935). Seperti adat perkawinan sepupu silang (cross cousin marriage) merupakan karakteristik budaya yang umum terdapat dalam suku bangsa tersebut. Kajian-kajian Antropologi yang berlandaskan konsep ESV (etnologisch studie veld) merupakan cerminan perkembangan aliran strukturalisme Leiden ketika itu.







Vidio Suku Anak Dalam

1.Kehidupan Orang Rimba


        Di tengah puluhan ribu pohon kelapa sawit ini terdapat sebuah sesudongan, rumah yang didirikan Suku Anak Dalam (SAD). Rumah ini dibangun menggunakan tiang dari batang kayu, beratap plastik, tanpa dinding, dan lantai dari belahan kayu yang disusun rapi. Luas sesudongan ini berkisar 2 x 4 meter.







2.Hikayat Orang Rimba

           Jauh di belantara hutan Jambi, hidup orang adat yang memilih menghindar dari hingar bingar gerak zaman, dan sepenuhnya hidup menyatu dengan rimba raya. Mereka menyebut diri sebagai orang rimba, penjaga benteng terakhir ruang hidup mereka di Bukit Duabelas, kabupaten Sarolangun. Jambi. Tercatat, dari sekitar 4000 orang rimba di Jambi, hampir separuhnya kehilangan hutannya. Perusakan dan perambahan hutan, hingga alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit memaksa orang rimba perlahan tersisih dari rumah tempat tinggal mereka. Tanpa rimba, mereka bukanlah orang rimba. Ribuan orang rimba kini hidup di bawah hijaunya sawit, tumbuhan yang tak berarti apapun bagi kepercayaan mereka.










3. Menjaga suku Anak Dalam

            Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal.
   















Jurnal Suku Anak Dalam

1.         Masyarakat rimba  yang tinggal dan hidup dalam hutan di daerah Jambi terdiri dari kelompok-kelompok yang tersebar di kawasan hutan bukit dua belas. Masing masing kelompok ini dipimpin oleh seorang Temenggung (kepala rombong atau kepala kelompok). Ada sekitar 11 temenggung dan jumlah poluasi sekitar 1300 orang.  Dalam satu rombong ketemenggungan ada beberapa rombong yang terdiri dari beberapa keluarga (Bubung). Filosofi hidup mereka pun bersumber pada kehidupan hutan. Orang Rimba ada yang hidup berpindah-pindah didalam hutan, ada yang bermukim permanen didalam hutan dan ada juga yang telah bermukim di kawasan dekat dengan pemukiman penduduk biasa Kehidupan yang unik dan eksotik merupakan sebab kepopuleran mereka. Ditengah derap dunia yang melaju cepat, 
                mereka masih saja terkungkung dalam kehidupan seperti yang dilaksanakan nenek moyang mereka ratusan atau bahkan ribuan tahun yang silam. Mereka berkeyakinan bahwa merubah alam adalah pembangkangan terhadap kehendak Tuhan dan merupakan pelanggaran adat.  Tuhan adalah sang penguasa alam dan manusia merupakan makhluk yang bergantung kepada alam. Oleh sebab itu, suku rimba ini dianggap bodoh, miskin, primitive, dan stereotip-stereotip negatif lainnya. Bahkan, di kalangan penduduk Jambi sendiri, kata “Kubu” selalu distereotipkan kepada komunitas yang dianggap terpinggirkan, bodoh, bau, primitif, (tidak modern). Karena “kebodohan” itu, komunitas Orang Rimba seringkali menjadi korban penipuan oleh pendatang-pendatang asing yang menganggap dirinya, pintar, modern. Tetapi sebenarnya




2.       Di Sumatera terdapat sejumlah suku-suku besar yang mempunyai ciri khas tradisional. Suku yang terkenal aantara lain Aceh, Batak, Minangkabau, dan Melayu. Selain itu terdapat pula beberapa suku minoritas yang mendiami beberapa daerah di Sumatera, terutama di daerah hutan luas, di antara sungai-sungai besar, di sekitar rawa-rawa, maupun di pulau-pulau lepas pantai. Salah satu suku minoritas tersebut adalah suku anak dalam (SAD) atau biasa juga disebut sebagai Orang Rimba. Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatera, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 3.198  orang.1 Suku Anak Dalam (SAD) yang di dalam tulisan ini lebih sering menggunakan sebutan Orang Rimba memiliki gaya hidup dan kepercayaan yang unik dan berbeda dari kehidupan masyarakat modern. Mereka 




3.      Masyarakat rimba  yang tinggal dan hidup dalam hutan di daerah Jambi terdiri dari kelompok-kelompok yang tersebar di kawasan hutan bukit dua belas. Masing masing kelompok ini dipimpin oleh seorang Temenggung (kepala rombong atau kepala kelompok). Ada sekitar 11 temenggung dan jumlah poluasi sekitar 1300 orang.  Dalam satu rombong ketemenggungan ada beberapa rombong yang terdiri dari beberapa keluarga (Bubung). Filosofi hidup mereka pun bersumber pada kehidupan hutan. Orang Rimba ada yang hidup berpindah-pindah didalam hutan, ada yang bermukim permanen didalam hutan dan ada juga yang telah bermukim di kawasan dekat dengan pemukiman penduduk biasa Kehidupan yang unik dan eksotik merupakan sebab kepopuleran mereka. Ditengah derap dunia yang melaju cepat, mereka masih saja terkungkung dalam kehidupan seperti yang dilaksanakan nenek moyang mereka ratusan atau bahkan ribuan tahun yang silam. Mereka berkeyakinan bahwa merubah alam adalah pembangkangan terhadap kehendak Tuhan dan merupakan pelanggaran adat.  Tuhan adalah sang penguasa alam dan manusia merupakan makhluk yang bergantung kepada alam. Oleh sebab itu, suku rimba ini dianggap bodoh, miskin, primitive, dan stereotip-stereotip negatif lainnya





Vidio Suku Alas

1. Apa itu Suku Alas

           Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas).
          Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi


2. Pernikahan Adat Alas Aceh Tenggara Barat

   Perkawinan mempunyai arti yang begitu penting di dalam masyarakat Alas,  maka permulaannya senantiasa dimulai dan seterusnya disertai dengan bermacam upacara adat yaitu  :
1.      Perkawinan  meminang.
2.      Upacara Kutuk  (pemberian tanda).
3.      Upacara Khisik.
4.      Upacara Pinang Cut.
5.      Upacara Pinang Mbelin (pinang besar).
6.      Upacara Midoi (minta waktu yang pasti).
7.      Upacara Menkhaleng  (menjemput isteri).
8.      Upacara Nakhuh  (membawa isteri pulang).
9.      Upacara Senubung.



3. Suku Alas Desa Kutacane, Aceh Tenggara

          Manukh Labakh adalah salah satu makanan khas dari Suku Alas, Kabupaten Aceh Tenggara, makanan ini sendiri termasuk kedalam makanan sehat sebab, pembuatannya tanpa menggunakan minyak. Biasanya, setiap ada pesta perkawinan atau sunatan rasul, makanan ini tetap terhidang sebagai menu utama. Sebagian besar masyarakat Alas menyakini, Manukh Labakh mampu mengobati penyakit mimbar akibat gangguan jin, sehingga menjadi bagian budaya mereka.
         Bahan makanan Labakh lebih sering dibuat dari daging bebek dan ayam kampung yang dikukus atau direbus, bumbu lainnya dicampur setelah daging usai direbus, bumbu seperti santan kelapa sengaja dibuat mentah dan kelapa ginseng serta bawang mentah plus merica dan ditambah bumbu lainnya.



4. Tarian Etnis Suku Alas

      Dahulunya, tarian ini adalah untuk memperebutkan putri raja. Para petarung membekali diri dengan senjata, dan pemenang dari pertarung tersebut berhak untuk menikah dengan putri raja. tarian ini khas suku Alas, yaitu sebuah suku yang berdiam di kawasan daerah daratan tinggi Tanah gayo, Aceh


jurnal suku Alas

1.     Pengaruh pola makan masyarakat suku alas terhadap status gizi penderita hipertensi di wilayah kerja puskesmas perwatan kutambaru kabupaten aceh tenggara.Hipertensi adalah suatu keadaan dimana dijumpai tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg atau lebih untuk usia 13-50 tahun dan tekanan darah mencapai 160/95 mmHg untuk usia di atas 50 tahun. Dan harus dilakukan pengukuran tekanan darah minimal sebanyak dua kali untuk lebih memastikan keadaan tersebut (WHO,2001). Peningkatan jumlah penyakit degeneratif terkait dengan perubahan pola hidup yang dijalani seseorang misalnya pola makan yang cenderung tidak sehat dengan kurangnya makan sayuran dan makanan berserat, kurang berolahraga, dan tingkat stress yang tinggi (Kepmenkes, 2010





2.     Bentuk tari landok alun pada masyarakat suku alas kabupaten aceh tenggara. Tari Landok Alun merupakan tari tradisional masyarakat suku Alasyang berasal dari desa Telengat Pagan. Tarian ini mulai terancam eksistensinya dikarenakan masuknya budaya yang secara perlahan menyingkirkan keberadaan tarian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai Bentuk Tari LandokAlun Pada Masyarakat Suku Alas Kabupaten Aceh Tenggara. Untuk membahas tujuan penelitian tersebut, digunakan teori-teori yang berhubungan dengan topik penelitian, seperti teori bentuk yang didalamnya membahas mengenai : tema, gerak tari, pola lantai, iringan, tata rias, busana, properti,dantempat pementasan. 



3.Bentuk penyajian tari pelebat di sanggar lag suku alas kabupaten aceh tenggara.Suku Alas merupakan suku yang mendiami daerah dataran tinggi Aceh Tenggara. Suku Alas menguasai tanah pegunungan Leuser. Suku Alas menggunakan bahasa Alas dengan adat istiadat sendiri. Daerah Kabupaten Aceh Tenggara beribukota Kutacane. Bahasa Alas mirip dengan bahasa Batak (Karo, Tapanuli, dan Fak Fak). Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan.  Tanoh Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tetapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi, dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi. 




4. .Larangan perkawinan semarga dalam masyarakat aceh tenggara.Adat merupakan wujud dari kebiasaan yang diciptakan oleh sebuah masyarakat sejenis suku bangsa yang telah disepakti oleh warganya sendiri.3 Adat perkawinan dalam masyarakat Aceh merupakan bagian dari pola kehidupan suatu individu yang harus dilewati oleh setiap orang yaitu dari peralihan usia remaja kemasa dewasa merupakan suatu yang berkesan bagi seseorang atau masyarakat.Perkawinan merupakan  suatu ikatan antara sepasang manusia  untuk membentuk sebuah keluarga. Untuk menyatukan dua keluarga serta melibatkan semua masyarakat yang ada di dalamya perlu adanya adat perkawinan, dalam masyarakat
Alas di Aceh Tenggara memiliki kareteristik adat perkawinan tersendiri


Makalah Suku Anak Dalam


PENDAHULUAN

Orang Rimba atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu etnik tradisional yang ada di Indonesia. Mereka bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Secara administratif kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas terletak di antara tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun Bangko, Bunga Tebo dan Batang Hari. Tiga Kabupaten tersebut saling berbatasan di punggung perbukitan Bukit Dua Belas. Kawasan yang di diami Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan ini pun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko, Muara Bungo dan Jambi serta lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah-tengah provinsi Jambi. 1 Orang Rimba merupakan sebutan diri bagi komunitas adat terpencil yang hidup dan tersebar dalam hutan di provinsi Jambi dan provinsi Sumatera Selatan.
2 Sebutan ini menurut mereka sebagai interpretasi dari kehidupan mereka yang sejak nenek moyangnya menggantungkan hidup pada hutan dan hasil-hasilnya. Pemerintah menamai komunitas ini dengan sebutan yang berubah-ubah sesuai dengan proyek yang akan diberlakukan untuk komunitas ini. Diawali dengan sebutan suku terasing, yang merupakan generalisasi untuk semua suku yang dianggap “belum hidup normal”. Kemudian mereka dinamai Komunitas Adat Terpencil, yang berikutnya disebut Suku Anak Dalam (SAD). Sedangkan istilah Kubu merupakan sebutan yang dilekatkan oleh masyarakat Melayu pada komunitas ini. Kubu diartikan hidup liar, kotor, bau, penuh dengan kekuatan mistis, bodoh dan tertutup. Makanya penyebutan kubu ini sangat ditentang oleh Orang Rimba, dan kemudian mereka menyebutkan identitas mereka sebagai Orang Rimba.3 Orang Rimba hidup dari meramu, berburu hasil hutan yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat rimba. Dari segi pola hidup dan hukum, komunitas ini sangat patuh terhadap aturan adat dan tabu-tabu yang mengatur perilaku mereka dengan begitu ketat.
Sejak ratusan tahun lalu, Orang Rimba telah hidup di provinsi Jambi. Mereka hidup bergantung dengan sumber daya yang disediakan alam secara melimpah. Hewan buruan, buahbuahan semua tersedia di alam. Namun semua hal ini mulai terdegradasi sejak masuknya pihak lain dalam mengelola sumber daya alam Orang Rimba. Diawali dengan kehadiran HPH (Hak Pengusaha Hutan), transmigrasi, perkebunan lahan hutan produksi (HTI) yang semuanya berada di kawasan hidup Orang Rimba.




PEMBAHASAN
A.     Asal Usul Suku Anak Dalam
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang.Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang.Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda. Apabila ditelisik, berbagai versi ceritayang dapat dikelompokkan ke dalam tiga versi tersebut memiliki kesamaan tent8ang asal usul orang rimba, yakni mereka berasal dari sukubangsa lain, baik suku bangsa Melayu maupun suku bangsa Minangkabau.
B.     Aliran Kepercayaan Suku Anak Dalam
Anthony F.C. Wallace dalam Haviland mendefinisikan agama sebagai upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, danyang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup. dan untuk menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan merekatentang kosmos dan sifat  manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Orang Rimba percaya adanya Tuhan, namun wujud dan gambaran Tuhan sangat abstrak. Mereka berkeyakinan adanya makhluk halus yang ada di dunia, yang dapat berupa dewa, arwah orang yang sudah meninggal, yang mereka sebut sebagai malaikot dan silom atau siluman. Dewa-dewa, malaikot, dan silom hidup dalam dunia ghaib yang mereka sebut dengan halom dewo. Dewa dan Dewo ini mereka sebut dengan istilah orang.
Orang rimba mempercayai adanya para dewa dan fungsi dewa hanyalah sebagai perantara kepada Tuhan. Jika mereka ditanya siapakah tuhan orang rimba? Mereka hanya menjawab bahwa tuhan ada di atas langit. Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya. Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu menjaga dan mengawasi umat manusia seperti yang dituturkan oleh Tumenggung Nggrip di Kedundung Muda, TNBD pada Desember 2013. Tumenggung
adalah sebutan bagi pemimpin orang rimba. Ada beberapa dewa yang diyakini keberadaannya
oleh orang rimba. Para dewa ini selain sebagai perantara kepada tuhan,
peran dewa salah satunya adalah menjaga dan dijadikan tempat perlindungan dan
pertolongan oleh orang rimba. Ada lebih dari seratus dewa yang diyakini oleh orang rimba. Setidaknya hanya ada sekitar delapan dewa yang paling sering dijadikan tempat pertolongan bagi orang rimba. Di antaranya adalah dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Gajah, Dewa Kucing, Dewa Huluaye, Dewa Madu, Dewa Penyakit, dan Dewa Padi (Zuhdi: 8).

C.     POLA HIDUP DAN KEARIFAN LOKAL
Dalam hidup dan kehidupoan dalam TNBD Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan, dengan pola hidup antara lain sbb.
  1. Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.

  1. Meramu adalah jenis mata pencaharian lain yang dilakukan didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.

  1. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya. Kini mereka juga telah mengenal pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang dan karet sebagai mata pencahariannya.
    Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.

  1. Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.


Laporan Observasi Suku Baduy



LAPORAN OBSERVASI
Agama-agama Lokal

Suku Baduy


Disusun oleh:

Angga pratama (11160321000015)
Rizki Hidayat (11160321000026)



JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2018






BAB I
PENDAHULUAN
Suku baduy merupakan salah satu suku asli Banten dengan jumlah penduduk suku baduy sekitar 5000-8000 orang. Lokasi suku baduy berada di kaki pegunungan Kendeng, Desa Kenkes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten.
Baduy merupakan sebutan yang diberikan oleh masyarakat luar dan berawal dari sebutan para peneliti. Peneliti menyamakan mereka dengan kelompok masyarakat yang berpindah atau nomaden. Pada sejarah “baduy” diberikan oleh pemerintahan kesultanan banten, ketika itu masyarakat asli Banten enggan menerima ajaran islam mereka menolak dan diasingkan ke daerah pedalaman.
Namun orang suku baduy lebih senang dengan sbeutan lain untuk mereka yaitu “urang kenakes” atau dalam artinya orang kenakes berdasarkan asal daerah mereka yang tinggal di Kenakes.
Masyarakat suku baduy benar-benar menjaga adat istiadat dan sangat menjaga alam sekitarny. Karena mereka sadar mereka hidup oleh alam dan berdampingan dengan alam. Banyak ajaran suku baduy yang berupa larangan bila diabaikan akan terkena hukum alam.
Di provinsi Banten terdapat suku asli yaitu suku baduy dalam dan suku baduy luar. Suku baduy dalam masi menjaga tradisi, adat istidat dan anti modernisasi baik cara berpakaian, pola hidup dan lainnya. Sedangkan suku baduy luar masih menjaga tradisi dan adat istiadat tetapi sudah mampu beinteraksi dengan masyarakat dari luar suku baduy.
Berdasarkan data yang diperoleh oleh Tim Social Forestry Indonesia, Banten merupakan wilayah yang berhutan paling luas di Jawa barat dengan 354.970 ha. Jenis vegetasinya antara lain, Rasamala, Saninten dan Nyamplung. Di wilayah hutan Banten itulah terdapat Desa Kanekes yang luasnya 5.101,85 ha. Dengan jumlah masyarakatnya sekitar 5.000 orang yang tersebar di 10 kampung (dalam Wilodati, 1985:7). Desa Kanekes adalah suatu daerah yang hampir tanpa daratan, karena hampir keseluruhan wilayah Desa Kanekes adalah dataran tinggi yang berbukit bukit








BAB II

2.1. Kearifan Suku Baduy
            Sistem perekonomian Baduy lebih mengutamakan sistem tertutup, artinya aktivitas ekonomi dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan diproduksi serta dikonsumsi dilingkungan Baduy sendiri. Mata pencaharian mereka pada umumnya adalah bertani atau bercocok tanam.Seluruh masyarakat di Baduy belajar untuk bekerja di pertanian sesuai dengan aturan yang telah ditentukan. Di Baduy terdapat aturan dalam pertanian yang diikuti oleh masyarakatnya. Ada waktu dimana mereka harus mengolah tanah, menanam, maupun memanen hasil pertaniannya. Sistem pertanian disana adalah dengan sistem berladang dan berkebun. Pada masa dimana mereka tidak sedang bekerja di ladang, Baduy laki-laki bekerja di hutan untuk berburu dan memanen madu, sementara Baduy wanita bekerja menenun dirumah untuk membuat baju, selendang, sarung, serta kerajinan tangan seperti tas.
Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat istiadat bukan merupakan masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari perkembangan dunia luar.
 Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka. Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten[1]. Sampai sekarang, upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Baduy Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa menyewa tanah, dan tenaga buruh
Nilai-nilai kearifan masyarakat baduy yang sederhana dengan tidak mementingkan materi dalam kehidupannya menjadi sebuah contoh dimana mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan primernya, bahkan dalam bertani mereka mengikuti aturan-aturan yang ada dimasyarakat, diantaranya tidak menggunakan pupuk kimia, masyarakat baduy memupuk tanamanya dengan pupuk buatan mereka sendiri dari bahan-bahan organik, sebuah nilai kearifan lokal masyarakat baduy yang tidak mau merusak alam dengan menggunakan bahan kimia, berbeda dengan kebanyakan masyarakat lain yang menggunakan pupuk kimia dengan tujuan hasil panen yang melimpah dan cepat, tetapi tidak memperdulikan lingkungan alam yang akan rusak karena bahan kimia dalam pupuk yang digunakan. Selain itu Penanggulangan hama padi pada masyarakat Baduy bersifat mengusir daripada membunuh. Dalam bertani, mereka selalu menjaga keselarasan dengan alam, bukannya melawan alam. Maka dari itu, dalam penanggulangan hama padi huma, masyarakat Baduy lebih memilih racikan biopestisida dan rawun pare daripada pestisida pabrikan yang dianggap dapat meracuni dan merusak lingkungan. Upaya mengusir hama padi huma tersebut tampaknya cukup berhasil. Buktinya, kejadian puso panen padi huma akibat gangguan hama sangat jarang terjadi di Baduy
Hasil panenan suku baduy yang berupa padi pun tidak boleh dijual, padi hanya untuk kebutuhan mereka saja, tidak diperjual belikan, mereka hanya menjual hasil panenan lainnya seperti pisang, durian, dll, aturan ini  juga dilaksanakan oleh semua masyarakat baduy. Untuk memenuhi kebutuhan tambahan mereka seperti biaya untuk upacara-upacara adat mereka menjual madu, kain songket, kerajinan-kerajinan tangan, tas, dll, uang yang didapatkan dari hasil itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, kebutuhan yang tidak mereka hasilkan seperti garam, minyak, serta bumbu-bumbu. Madu Baduy sangat terkenal di daerah Banten karena tidak dicampur dengan bahan lainnya, sehingga sering disebut madu asli. Mereka menjual madu dan hasil kerajinan lainnya sampai ke kota.
Kehidupan mereka yang sederhana membuat mereka tidak terlalu mementingkan harta, yang penting uang yang mereka miliki cukup untuk makan dan kebutuhuan penting lainya. Sebuah nilai kearifan lokal yang sekarang ini jarang bisa ditemui lagi mengingat sekarang ini banyak masyarakat yang menganggap bahwa uang adalah segalanya dan uang adalah raja yang harus mereka cari dan kumpulkan sebanyak-banyaknya untuk keberlangsungan hidup mereka.



                                    Baduy dalam dan baduy luar                                                    
Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut[2].
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas
Berada di perkampungan Baduy terasa seperti kita berada dalam suasana zaman dahulu. Masyarakatnya masih hidup dalam nilai-nilai tradisional yang kental, tidak ada sentuhan teknologi modern sama sekali. Jika malam tiba suasana hening, tenang dan gelap datang menyergap. Tidak ada gemerlapan cahaya lampu listrik, yang ada hanya kedipan sinar yang berasal dari lampu teplok yang diisi dengan minyak kelapa atau minyak jarak dengan sumbu sabut kelapa. Di perkampungan ini yang terdengar hanyalah suara alam dengan gemericik air dari sungai yang berbatuan, suara kicau burung dan desau angin menerpa dedaunan.


   Peta suku baduy

2.2. Mata pencharaian suku baduy
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan  menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten.
Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger[3].
Hasil pertanian  mereka berupa beras bisanya mereka simpan di lumbung padinya yang ada di setiap desa. Selain beras meraka juga memabuat kerajinan tangan seperti tas koja  yang bahannya terbuat dari kulit kayu yang di anyam. Sebagaimana yang telah terjadi selama ratusan tahun, maka mata pencaharian utama masyarakat Kanekes adalah bertani padi huma dan berkebun, mengolah gula aren dan tenun. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.

Lumbung padi(leuit)
Dari segi berpakain, didalam suku baduy terdapat perbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih. Pembuatannya hanya menggunakan tangan dan tidak boleh dijahit dengan mesin. Bahan dasarnya pun harus terbuat dari benang kapas asli yang ditenun.
salah satu kerjainan tenun suku baduy
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang hanya dililitkan pada bagian  pinggang. Agar kuat dan tidak melorot, sarung tadi diikat dengan selembar kain. Serta pada bagian kepala suku baduy menggunakan ikat kepala berwarna putih. Ikat  kepala ini berfungsi sebagai penutup rambut mereka yang panjang, kemudian dipadukan dengan selendang atau hasduk. Masyarakat Baduy yakin dengan pakaian yang serba putih polos itu dapat mengandung makna suci bersih.
Bagi suku Baduy Luar, busana yang mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna biru tua dengan corak batik. Desain bajunya terbelah dua sampai ke bawah, seperti baju yang biasa dipakai khalayak ramai. Sedangkan potongan bajunya mengunakan kantong, kancing dan bahan dasarnya tidak diharuskan dari benang kapas murni. Cara berpakaian suku Baduy Luar Panamping memamg ada sedikit kelonggaran bila dibandingkan dengan Baduy Dalam.. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya luar.


























REFERENSI
Garna, Judistira K. 1992. Orang Baduy Dari Kanekes: Ketegaran Dalam Menghadapi Tantangan Zaman (Makalah Seminar Sehari Dengan Orang Baduy). Bandung: Museum Negeri Jawa Barat.
Nababan, A.1995.Kearifan Trodisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.Jurnal Analisis CSIS: Kebudayaan, KearifanTradisional, & Pelestarian Lingkungan.Tahun XXIV No. 8 tahun 1995











 


[1] Orang Baduy Dari Kanekes: Garna, Judistira K. 1992, h 2
[2] Orang Baduy Dari Kanekes: Garna, Judistira K. 1992, h 2
[3] Kearifan Trodisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia.Jurnal Analisis, : Kebudayaan, KearifanTradisional, & Pelestarian Lingkungan.Tahun XXIV No. 8 tahun 1995