A.
Sejarah
kebudayaan suku ENDE-LIO di FLORES
Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau
Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di wilayah Kabupaten
Ende terdapat dua (2) suku yang mendiami daerah tersebut, yakni suku Ende dan
Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah pegunungan. Lokasinya
sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende bermukim di daerah pesisir
yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama, yang
membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku
Lio merupakan perpaduan suku asli daerah Lio dengan ajaran Kristen Katolik yang
dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku Ende merupakan perpaduan
budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang dibawah oleh pedagang-pedagang
dari Sulawesi, yakni Makasar.
Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh kaum pedagang
dari Makasar adalah lokasi bermukim suku Ende yang terletak di daerah pesisir
pantai. Mengingat jalur penghubung menuju daerah luar pada saat itu hanya
melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang menghubungkan jalur
perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka pada
hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa
kedatangannya diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang tersebut
datang, mereka disambut baik dan ramah oleh masyarakat setempat. Merasa
kedatangan mereka diterima, sebagian dari pedagang tersebut bahkan ingin
menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang masyarakat suku asli
Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu
memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku
Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan
kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua
etnis ini membangun rumah dan perkampungan adat dengan menggunakan teknologi
dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan karya seni
budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah
Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua etnis dalam satu peradaban
yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam mengekspresikan
seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan tradisional yang bernilai
tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan penelitian para pakar
bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan
bangunan pendukung lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan
leluhur, walaupun di beberpa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan
dari bentuk aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun
demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi pencinta wisata
budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan
warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang
seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela,
Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan beberapa tempat lain. Kegiatan ini
berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat yang memiliki tradisi
tersebut adalah kampung-kampung tradisional yang tersebar dalam wilayah
Kabupaten Ende seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau,
Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga,
Pu’utuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal yang masih utuh
bangunannya adalah di Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona. Perkampungan tua
yangm menarik dan mempunyai bentuk rumah yang unik dengan arsitektur khas
Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti di pulau Jawa–namun berbeda latar
belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang dibangun nenek
moyang tersebut, memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya sehingga tampak
unik dan memberikan kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi budaya akibat
masuknya etnis pendatang dari luar, seperti dari Bugis, Makasar dan Bima telah
mempegaruhi kehidupan budaya masyarakat setempat. Pada awalnya nenek moyang Ata
Ende membangun rumah dan perkampung adat sama seperti Ata Lio, namun pada
perkembangannya mengalami perubahan yang kemudian disebut “Sa’o Panggo” atau
“Tiga Tezu” (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana tiang dan lantainya terbuat dari
balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap daun kelapa atau
sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias seperti sirip
ikan. Rumah ini memiliki kolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar