A. artisipasi Warga Kelompok Suku Dayak
IndramayuDalam Bidang Pemerintahan, Sosial, Dan Politik
Selama perjalanan hidupnya, Takmad Diningrat,
banyak mengalami penderitaan, kesengsaraan, dan kemiskinan. Ia pun merasa
kecewa dengan sikap dan perilaku para pemimpin pemerintahan, para politisi dan
pemimpin partai, serta para penganut agama yang menurut pandangannya sudah
banyak menyimpang dari hukum formal maupun ajaran-ajaran agamanya. Ia
berprinsip bahwa kebaikan dan kebenaran tidak bisa dipaksakan, melainkan datang
dari diri sendiri masing-masing orang. Oleh sebab itu, ia dan para pengikutnya,
tidak mau menjadi umat atau penganut dari salah satu agama besar yang ada di
Indonesia. Di samping itu, mereka pun tidak mau mengikatkan diri dengan salah
satu kelompok, golongan, maupun Partai Politik. Itu pula sebabnya, ketika
negara ini tengah melangsungkan pesta demokrasi Pemilihan Umum, baik pemilu
legislatif maupun pemilihan presiden, mereka memutuskan tidak ikut memilih
partai, dan mereka lebih memilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya.
Keengganan mereka untuk terikat dengan
aturan-aturan formal, terbukti dari keengganan mereka membuat Kartu Tanda
Penduduk (KTP). Padahal kepemilikan KTP dan identitas kependudukan atau
kewarganegara yang telah cukup umur. Salah satu penyebab keengganan warga
kelopok ini untuk memenuhi hak sipil mereka adalah karena adanya keharusan
mengisi kolom agama/kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam format KTP,
sementara mereka tidak mengikatkan diri pada salah satu agama maupun Organisasi
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal hubungan kemasyarakatan,
mereka biasa bergaul dengan warga masyarakat sekitar walaupun sangat terbatas,
karena penampilan keseharian mereka yang sangat berbeda dengan warga masyarakat
lainnya. Warga masyarakat sekitar mereka dalam keseharian biasa mengenakan baju
kemeja atau kaos oblong (nglambi), sedangkan warga Suku Dayak Indramayu
tidak.
Konsep-konsep Ajaran Sejarah Alam Ngaji Rasa.
Ajaran dari kelompok “Dayak Indramayu” dinamakan dengan sebutan “Sejarah Alam Ngaji Rasa”. Menururt penjelasan salah seorang pengikut senior dari Pak Takmad, “Sejarah” adalah perjalanan hidup (awal, tengah, dan akhir) berdasarkan ucapan dan kenyataan. Sementara itu, “alam” adalah ruang lingkup kehidupan atau sebagai wadah kehidupan.
Adapun “Ngaji rasa” adalah tatacara atau pola hidup manusia yang didasari dengan adanya rasa yang sepuas mungkin harus dikaji melalui kajian antara salah dan benar, dan dikaji berdasarkan ucapan dan kenyataan yang sepuas mungkin harus bisa menyatu dan agar bisa menghasilkan sari atau nilai-nilai rasa manusiawi, tanpa memandang ciri hidup, karena pandangan salah belum tentu salahnya, pandangan benar belum tentu benarnya. “Oleh karena itu, kami sedang belajar ngaji rasa dangan prinsip-prinsip jangan dulu mempelajari orang lain, tapi pelajarilah diri sendiri antara salah dengan benarnya, dengan proses ujian mengabdikan dirikepadaanakdanistri”ungkapnya.
Konsep-konsep ajaran ini tidak didasarkan pada kitab suci, aliran kepercayaan, agam maupun akar budaya tertentu. Mereka berusaha mencari pemurnian dari dengan mengambil teladan sikap dan perilaku tikoh pewayangan Semar dan Pandawa Lima yang dianggapnya sangat bertanggungjawab terhadap kelaurga.
Proses menuju pemurnian diri, menurut Takmad, melalui beberapa tahap yang harus dijalin dengan menjauhkan diri dari keramaian dunia yang mengejar kesengan duniawi.
Tahap-tapah tersebut adalah: wedi-sabar-ngadirasa (ngajirasa)-memahami benar-salah.
Pada awalnya, setiap manusia wedi-wedian (takut, penakut) baik terhdap alam maupun lingkungan masyarakatnya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perasaan sabar dan sumerah diri dalam arti berusaha selaras dengan alam tanpa merusak alam. Prinsipnya adalah jangan merusak alam apabila tidak ingin terkena murka alam. Itulah yang disebut ngaji rasa atau ngadirasa. Setelah bersatu dan selaras dengan alam, dalam arti mengenal sifat-sifat alam sehingga bisa hidup dengan tenteram dan tenang karena mendapat lindungan dari Nur Alam (pencipta alam), manusia akan memahami benar-salam dan selanjutnya dengan mudah akan mecapai permurnian diri; manusia tidak lagi memiliki kehendak duniawi. Cerminan dari manusia yang telah memahami benar-salah, tampak dalam kehidupan sehari-harinya. Manusia yang telah mencapai tahap tersebut, akan selalu jujur dan bertanggungjawab.
Ngajisara, ajaran yang diakui sebagai jalan menuju pemurnian diri, mendidik setiap pengikutnya untuk mengendalikan diri dari “TIGA TA (harta, tahta dan wanita).
Bagi para pengikut yang telah menikah, suami harus sepenuhnya mengabdikan diri pada keluarga. Suami tidak boleh menghardik, memarahi, atau berlaku kasar terhadap anak dan istrinya. Oleh karena itu, perceraian merupakan sesuatu yang dianggap pantang terjadi. Demikian juga, hubungan di,luar pernikahan sangat ditentang. “Jangan coba-coba berzinah apabila tidak ingin terkena kutuk sang guru,” demikian salah seorang pengikut Pak Talmad mengungkapkan.
Ngaji rasa juga mengajarkan untuk saling mengasihi kepada sesama umat manusia. Misalnya, menolong orang yang sedang kesulitan walaupun berbeda kepercayaan, tidak menagih utang kepada orang yang diberi pinjaman. Yang terbaik adalah membiarkan orang yang berutang tersebut untuk membayar atas kesadarannya sendiri. Demikian juga dalam hal mendidik anak, sebaiknya tidak terlalu banyak ngatur karena yang bisa mengubah sikap dan perilaku adalah dirinya sendiri, bukan orang lain. Jalan menuju pemurnian diri juga ditunjukan dengan hidup yang sederhana, menjauhi keinginan mengejar kesenangan duniawi, menghilangkan perasaandendam,penasarandanirikepaadaoranglaina.
Konsepsi tentang alam tampak dari keyakjian bahwa dunia berasal dari bumi segandu (bumi yang masih bulat) bernama Indramayu. Bumi segandu, kemudian menimbulkan lahar menjadi daratan, kekayon, dan air. Setelah itu muncul alam gaib, yangmengendlaikan semua itu adalah NurAlam.
Ritual
Ritual yang dijalankan oleh anggota Suku Dayak Hindu-Budha Segandu Indramayu, dilakukan pada setiap malam Jum’at kliwon, bertempat di pendopo Nyi Ratu kembang. Beberapa puluh orang laki-laki bertelanjang dada dan bercelana putih hitam, duduk mengelilingi sebuah kolam kecil di dalam pendopo. Sementara itu,kaum perempuan duduk berselonjor diluar pendopo.
Ritual diawali dengan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Salah satu baik dari Pujian Alam, berbunyi sebagai berikut: ana kita ana sira, wijile kita cukule sira, jumlae hana pira, hana lima, ana ne ning awake sira. Rohbana ya rohbana 2x, robahna batin kita. Ning dunya sabarana, benerana, jujurana, nerimana, uripana, warasana, sukulana, penanan, bagusana [ada (pada) saya ada (pada) kamu, lahirnya aku tumbuhnya kamu, jumlahnya ada berapa, jumlahnya ada lima. Adanya di badan kita, Rohbana ya rohbana 2x, rubahnya bathin kita. Di dunia sabar, benar, jujur, nerima, hidup, sembuh (sadar), tumbuh, dirawat, (supaya) bagus].
Selesai melantunkan Kidung dan Pujian Alam, pemimpin kelompok, Takmad Diningrat, membeberkan cerita pewayangan tentang kisah Pandawa Lima dan guru spiritual mereka, Semar. Usai paparan wayang, Pak Takmad memberikan petuah-petuah kepada para pengikutnya. Paparan wayang dan petuah ini berlangsung hingga tengah malam. Usai itu, para lelaki menuju ke sungai yang terletak di belakang benteng padepokan. Di sungai dangkal itu mereka berendam dalam posisi telantang, yang muncul hanya bagian mukanya saja. Mereka berendam hingga matahari terbit. Ritual beremdam ini disebut kungkum.
Siang harinya, di saat sinar matahari sedang terik, mereka berjemur diri, yang berlangsung mulai sekitar jam 9 hingga tengah hari. Ritual ini disebut pepe.
Medar (menceritakan) cerita pewayangan, kungkum (berendam), pepe (berjemur) dan melantunkan Kidung dan Pujian Alam, adalah kegiatan ritual mereka yang dilakukan setiap anggota ini sehari-hari. Kegiatan secara massal hanya dilakukan pada setiap malam jum’at kliwon.
Ritual-ritual ini pada dasarnya adalah sebagai upaya menyatukan diri dengan alam, serta cara mereka melatih kesabaran. Semua ini dilakukan tanpa ada paksaan. “Bagi yang mampu silahkan melakukannya, tapi bagi yang tidak mampu, tidak perlu melakukan, atau lakukan semampunya saja,” ungkapnya.
Pola Perkampungan di Suku Dayak Indramayu
Suku Dayak Indramayu” hidup di tengah-tengah
masyarakat sekitarnya, akan tetapi dalam beberapa hal, mereka mengisolasikan
diri dari lingkungan masyarakatnya. Misalnya, untuk tempat tinggal dan tempat
peribadatan (ritual) mereka, dibentengi dengan dinding yang cukup tinggi dan
diberi ornamen lukisan-lukisan. Di dalam benteng ini terdapat beberapa bangunan
yang terdiri atas: rumah pemimpin suku, pendopo, pesarean, pesanggrahan, dan
sebuah bangunan rumah tinggal salah seorang pemimpin suku.
Beberapa bangunan, yaitu rumah pemimpin suku dan
pesarean sudah merupakan bangunan permanen, berdinding tembok, berlantai
keramik, dan beratap genteng. Gedung pendopo berdinding semi permanen, yaitu
dinding bagian bawah berupa tembok dan duduk jendela/setengah badan ke atas
menggunakan papan yang dilapisi bilik, berlantai keramik, dan beratap
genting. Sementara itu, bangunan pesanggaran adalah bangunan non-permanen,
berlantai tanah, beratap sirap, dan dindingnya dibuat dari papan dan bilik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar