Kamis, 10 Mei 2018

Suku Samin



Ajaran masyarakat Samin
            Ajaran Ki Samin mengenai kejatmikaan atau ilmu untuk jiwa dan raga, jasmani dan rohani mengandung 5 saran, yaitu:
1.      Jatmiko kehendak yang didasari usaha pengendalian diri.
2.      Jatmiko dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati sesama makhluk Tuhan.
3.      Jatmiko dalam mawas diri, melihat batin sendiri setiap saat, dapat menyelaraskan dengan lingkungan.
4.      Jatmiko dalam menghadapi bencana/bahaya yang merupakan cobaan dari Tuhan Yang Maha Esa.
5.      Jatmiko untuk pegangan budi sejati.
             Menurut Ki Samin ajaran kejatkikaan tersebut merupakan senjata yang paling baik dan memiliki khasiat yang ampuh, karena dalam kehidupan itu banyak godaan dari segala arah dan yang tidak aneh adalah yang berasal dari “Rogo Rapuh” sendiri.
            Ki Samin mengerjakan anak buahnya harus pasrah, semeleh, sabar, narimo ing pandum seperti air telaga yang tidak bersuara. Dalam perkumpulan, dalam memberi putunjuk Ki samin selalu menggunakan tulisan huruf Jawa yang disusun seperti halnya puisi, prosa, gancaran, dan tembang mocopat. Seperti di bawah ini yang berbentuk prosa:
“Jer ruh tumuruning tumus winwntu ing projo nalar, nalar wikan reh kasudarman, hayu ruwuyen badra, nukti-nuting lagon wirana natyeng kewuh, saka angganingrat”.
Sifat-sifat yang diajarkan selalu menggunakan pertimbangan logika (akal sehat) antara kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam menjalani hidup seperti menyusun gending. Perbuatan yang dapat mengatasi hambatan hidup adalah apa saja yang kita bawa dalam menjalani hidup di dunia.
            Salah satu pegangan/pedoman Ki Samin dirancang dalam tembang pangkur.
“ Soho malih dadya gaman, anggegulang gelunganing pambudi, polokrami nguwah mangun memangun treping widyo, kasampar kasandung dugi prayogantuk, ambudya atmaja tama, mugi-mugi dadya kanti”.
Yang artinya: juga menjadi senjata untuk melatik letajaman budi, bisa melalui perkawinan yang menghasilkan kesanggupan yaitu kegunaan dengan ilmu yang luhur/baik, karena dalam perkawinan itu kita jatuh bangun dalam berupaya mencari “cukup” terlebih lagi dalam mengusahakan lahirnya anak cucu yang nantinya menjadi teman hidup.
            Ki Samin memang tidak hanya mengerjakan ilmu kadigdayan tapi juga mengurusi masalah perkawinan atau hubungan antara pria dan wanita.
Tentang pedoman tingkah laku kehidupan tertulis dalam tembang dandang gulo.
“Pramila sesama kang dumadi, mikani ren papanng sujana, sajogo tulus pikukuhe, angrengga jagat agung, lelantaran mangun sukapti, limpade kang sukarso, wisaha anggayun, suko bukamring prajaning wang, pananduring mukti kapti amiranti dilalah kandiling setya”.
Yang artinya: adalah kepada sesama makhluk hidup, dengan cara memahami kehidupan masing-masing, sebaiknya tulus. Cara yang dilakukan adalah memelihara dunia yang besar dengan membuktikan kepercayaan, mengutamakan kelincahan dan kemampuan, sering dibuktikan, tidak lain yaitu menanam kebaikan.
            Masih banyak ajaran Ki Samin yang lain yaitu seperti buku primbon yang memuat petunjuk untuk orang hidup tentang kepercayaan terhadap Tuhan yang menciptakan dunia, tingkah laku dan sifat-sifat orang hidup, misalnya buku “Punjer Kawitan, Serat Pikukuh Kesejaten, Serat Uri-uri Pambudi dan Jati Sawit.
            Ki Samin dalam mengajar untuk membangun manusia seutuhnya seperti di atas tersebut, membuktikan bahwa dia memiliki pengetahuan kebudayaan dan lingkungan. Andalan Ki Samin adalah Kitab Jamus Kalimosodo yang di tulis oleh Kyai Surowidjojo atau Samin Sepuh. Terlebih lagi pribadi Ki Samin Sepuh juga terdapat dalam Kitab tersebut.
            Kitab Jamus Kalimosodo ditulis dengan bahasa Jawa baru yang berbentuk prosa, puisi, ganjaran, serat mocopat seperti tembang-tembang yang telah ditulis di atas yang isinya bermacam-macam ilmu yang berguna yang saat sekarang ini banyak disimpan sesepuh Masyarakat Samin yang berada di Tapelan (Bojonegoro), Kropoduwur (Blora), Kutuk (Kudus), Gunung Segara (Brebes), Kandangan (Pati) dan Tlaga Anyar (Lamongan) yang berbentuk lembaran tulisan huruf Jawa yang dipelihara dengan baik.
            Daerah Kekuasaan Ki Samin Surosentiko sudah semakin luas hingga desa-desa lain. Pada suatu hari masyarakat Desa Tapelan, Ploso dan juga Tanjungsari mengangkat Ki Samin menjadi Raja dengan gelar “Prabu Panembahan Suryongalam” yang dapat menerangi orang sedunia dan yang diangkat sebagai patih merangkap senopati, kamituwo (Kepala Dusun) Bapangan yang diberi gelar “Suryo Ngalogo” yang mengajarkan tentang perang. Ini membuktikan bahwa orang Jawa/pribumi dengan sah memiliki tekad yang utuh berjuang secara tenang (halus).
            Ki Samin Surosentiko dalam menentang penjajah dapat dilihat dalam bermacam-macam cara. Bila kita melihat bagaimana perbuatan orang-orang
pemerintahan Belanda yang hendak menghabiskan warga Samin yang waktu
itu tersebar di Blora, Bojonegoro, Pati dan Kudus yang paling banyak di Desa Tapelan Kecamatan Ngraho Bojonegoro. Namun Ki Samin Surosentiko tidak khawatir berjuang namun kelihatan diam sepertinya dia melawan tanpa perang. Cara yang dipakai melawan hanyalah menolak membayar pajak, menolak menyumbang tenaga untuk pemerintahan Belanda, membantah terhadap peraturan dan dia mendewakan dirinya sendiri seperti halnya titisan dewa yang suci.
Reinternalisasi Nilai-nilai Luhur Sedulur Sikep
            Sesuai dengan nilai-nilai luhur Sedulur Sikep yang dimliki masyarakat Samin yang diuraikan di atas. Dapat kita ketahui, ternyata banyak nilai-nilai luhur  yang sebenarnya perlu kita tanamkan kembali dalam budaya masyarakat Indonesia, untuk menumbuhkan kembali budaya-budaya Indonesia yang sudah mengalami pergeseran sebagai akibat dari globalisasi.
            Budaya-budaya Sedulur Sikep yang dapat kita tanamkan kembali adalah seperti, sabar, rukun, kejujuran, gotong royong, solidaritas, kesatuan dan persatuan, menghargai sesama sederajat, dan kesederhanaan.
            Budaya-budaya tersebut dapat kita tanamkan dengan interaksi sosial. Cara-cara yang dapat kita gunakan untuk menanamkan nilai Sedulur Sikep ini, adalah melalui metode interaksi sosial, yaitu imitasi, suggesti, identifikasi, simpati, dan empati.
1.      Imitasi
            Reinternalisasi ,melalui imitasi dapat dilakukan oleh orang tua, pendidik, dan pemerintah. Untuk orang tua dapat berperilaku dan bersikap sesuai dengan ajaran Sedulur Sikep, seperti berperilaku jujur, rukun dengan tetangga, dan toleransi. Sehingga secara otomatis, anak meniru perilaku orang tua. Untuk pendidik dapat berperilaku sesuai dengan ajaran Sedulur Sikep. Sehingga secara otomatis, anak meniru perilakunya. Untuk  pemerintah hendaknya tidak menggunakan identitas atau hal-hal lain yang mencerminkan ciri suatu golongan. Tidak menggunakan kaos partai dan lain-lain. karena setelah menjadi pemimpin seluruh warga adalah anak (asuhan) nya. Sehingga masyarakat dapat meniru untuk menganggap semuanya sederajat.
2.      Suggesti
            Reinternalisasi ,melalui sugesti dapat dilakukan oleh orang tua dengan menasehati anaknya, sesuai dengan ajaran-ajaran Sedulur Sikep. Untuk pemerintah dan pihak terkait dapat membuat poster-poster maupun iklan yang mempunyai makna ajaran Sedulur Sikep.
3.      Identifikasi
            Reinternalisasi dengan identifikasi dapat dilakukan melalui individu-individu tertentu yang dianggap istimewa/digemari oleh orang atau sekelompok orang, seperti artis, atlet, pengusaha,dll. Mereka tersebut hendaknya mempunyai sikap sesuai dengan ajaran Sedulur Sikep. Dengan demikian diharapkan penggemar bisa meniru secara keseluruhan penampilan secara khususnya dan sikap secara umumnya.
4.      Simpati
            Reinternalisasi dengan simpati dapat dilakukan individu yang mempunyai peran penting dalam diri seseorang dengan cara menceritakan atau memberitahukan hal-hal yang menarik dari Sedulur Sikep. Sehingga seseorang bisa tertarik terhadap hal tersebut.
5.      Empati
            Reinternalisasi dengan dengan empati dapat dilakukan oleh pendidik. Pendidik dapat membuat program dimana mengajak siswanya untuk mngunjungi maupun tinggal sementara di tempat pemukiman wong sikep sehingga mereka dapat mengetahui pola perilaku dan kehidupan mereka. Dan diharapkan mereka dapat meniru hal-hal tersebut.

Perkawinan
Penerapan pranata masyarakat Samin di Desa Baturejo Sukolio Pati dalam hal adat perkawinan hampir sama dengan adat orang Jawa. Dimulai dari pelamaran yang dilakukan dengan laki-laki datang kerumah perempuan dan membawa seserahan. Yang membedakan hanyalah saat Upacara Ijab, yakni pengantin pria dan wali dari pengantin wanita melakukan suatu perjanjian untuk meresmikan hubungan kedua mempelai tanpa adanya naib atau orang yang menikahkan. Setelah itu maka kedua mempelai dapat dikatakan suami istri.
Masyarakat Samin biasa menyebutnya dengan sikep rabi atau sikep laki. Sikep rabi merupakan sesuatu yang sangat prinsip bagi mereka. Dalam ajaran Saminisme, perkawinan itu sangat penting. Perkawinan merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan atmaja tama (anak yang mulia). Dalam perkawinan menurut adat mereka, pengantin laki-laki harus mengucapkan "syahadat" yang berbunyi (kalau ditejemahkan) lebih kurang, "Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama ... Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua."
Hal itulah yang menyebabkan stigmasi tertentu terhadap orang Samin, yakni orang Samin dianggap sebagai pemuja kumpul kebo. Tak sebagai pembenaran, bagi mereka menikah dengan seseorang adalah untuk selamanya. Jadi, tidak ada ceritanya bahwa ada perselingkuhan pada mereka. Kecuali, yen rukune wis salin, sebutan seorang lelaki yang istrinya telah meninggal, seorang Sikep baru boleh menikah lagi.
Mereka berpandangan bahwa dengan melalui perkawinan, mereka dapat belajar ilmu kasunyatan (kajian realistis) yang selalu menekankan pada kemanusiaan, rasa sosial dan kekeluargaan dan tanggung jawab sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar