Kamis, 10 Mei 2018

Suku Sakai



A.    Kepercayaan lokal suku sakai
Suku Sakai merupakan komunitas asli suku pedalaman yang hidup di daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi sakai Luar dan sakai Dalam.
Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.
Propinsi Riau didiami masyarakat suku terasing yang terdiri dari 5 suku yang termasuk kategori masyarakat terasing. Kelima suku terasing tersebut adalah:
    Suku Laut,Suku Hutan,Suku Talang Mamak,Suku Bonai,Suku Akit
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155 cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai. Adapun upacara tersebut antara lain:
    Upacara kematian
    Upacara kelahiran
    Upacara pernikahan
    Upacara penobatan batin (orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle) ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
    Upacara menanam padi
    Upacara menyiang
    Upacara sorang sirih
    Upacara tolak bala.
Pada saat ini masyarakat suku sakai sudah mengalami perubahan sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku sakai tidak hanya bekerja sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri, pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).

B.     Upacara pernikahan
Menurut kebudayaan orang sakai setiap orang boleh kawin dengan siapa saja kecuali dengan orang yang di golongkan sebagai anggota keluarga, yang tidak boleh dikawini adalah: ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak, bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu menurut garis paralel (parallel cousi). Perkawinan antara paman dengan kemenakan juga di larang kalau si kemenakan tersebut adalah kemenakan menurut garis paralel.
Perkawinan yang biasanya terjadi adalah perkawinan antara bujangan dengan gadis,atau pasangan antara janda dengan duda. Tetapi ada juga perkawinan yang terjadi dimana pihak laki-laki sudah beristri, sehingga mewujudkan adanya keluarga yang poligami. Walaupun perkawinan poligami tidak di larang dalam kebudayaan orang sakai tetapi jarang di lakukan karena pembiayaan mahal dan juga karena pengorganisasian kehidupan rumah tangga di ladang tidak memungkinkan perkawinan poligami dapat berlangsung dengan baik. Perkawinan antara bujangan dengan gadis biasanya selalu di dahului dengan suatu masa pertunangan: atau, kalau tdak ada masa pertunangan maka yang mereka lakukan adalah kawin lari. sebelum di lakukan pertunangan atau kawin lari si bujang dan si gadis sudah saling kenal mengenal secarah mendalam terlebih dahulu.
Perkenalan biasanya terjadi dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama sehari-hari (yaitu karena rumah mereka berdekatan,karena mereka teman sepermainan, atau karena kedua orang tua mereka sama sama terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomiyang sama sehingga mereka sering bertemu karena di suruh oleh orang tua mereka), atau dapat juga terjadi karena mereka bertemu dan bersama sama memanen padi atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan bersama setelah panenan dalam membuat emping padi, atau dapat juga pertemuan tersebut terjadi pada waktu mereka hadir bersama dalam pesta (olat) perkawinan.
C.     Upacara kematian
Sebelum orang sakai memeluk agama islam dan Kristen maka jika ada seorang sakai yang meninggal dunia, maka mayatnya diletakan ditengah-tengah rumah. Para kerabat tetangga satu perbatinan diberitahu. Jika yang meninggal seseorang pak kuneng atau saudara laki-laki ibu tertua dari ego harus segera mengambil sebilah parang dan dengan parang tersebut melukai keningnya sampai darahnya mengucur. Bila yang meninggal seorang yang masih muda maka pak kuneng dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus diteteskan ke muka dan dada si mayat, maksudnya adalah meminta maaf atas segala kesalahan dan memaafkan segala kesalahan si mayat dan harapan supaya hidupnya di alam kubur sejahtera hendaknya.
D.    Tolak Bala
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa contoh untuk upacara tolak bala Orang Sakai yaitu pada saat seorang wanita yang sedang mengandung dan sudah waktunya untuk sang wanita tersebut melahirkan, tetapi belum juga melahirkan atau lebih lambat dari waktu yang diperkiran maka, upacara dikir dilakukan yang tujuannya adalah untuk mengusir berbagai roh atau antu jahat yang ada di rumah atu di ladang mereka yang mengganggu kelancaran kelahiran si bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar