A.
Kepercayaan
lokal suku sakai
Suku Sakai merupakan komunitas asli suku pedalaman yang hidup di
daratan Riau. Mereka selama ini sering dicirikan sebagai kelompok terasing yang
hidup berpindah-pindah. Dari tempat tinggal, masyarakat Sakai dapat dibedakan menjadi
sakai Luar dan sakai Dalam.
Sakai dalam merupakan warga sakai yang masih hidup setengah menetap
dalam rimba belantara, dengan mata pencarian berburu, menangkap ikan dan
mengambil hasil hutan. Sakai luar adalah warga yang mendiami perkampungan berdampingan
dengan pemukiman-pemukiman puak melayu dan suku lainnya.
Propinsi Riau didiami masyarakat suku terasing yang terdiri dari 5
suku yang termasuk kategori masyarakat terasing. Kelima suku terasing tersebut
adalah:
Suku Laut,Suku Hutan,Suku Talang Mamak,Suku
Bonai,Suku Akit
Suku sakai tergolong dalam ras Veddoid dengan ciri-ciri rambut
keriting berombak. Kulit coklat kehitaman, tinggi tubuh laki-laki sekitar 155
cm dan perempuan 145 cm. Untuk berhubungan satu sama lain, orang Sakai
menggunakan bahasa sakai. Banyak diantara mereka mengujar logat-logat bahasa
batak Mandailing, bahasa Minangkabau dan bahasa Melayu.
Dilingkungan masyarakat suku sakai masih ditemukan upacara yang
berkaitan dengan daur hidup (Life cycle). Pelaksanaan upacara tersebut dilaksanakan
secara turun temurun yang masih dipertahankan oleh masyarakat suku sakai.
Adapun upacara tersebut antara lain:
Upacara kematian
Upacara kelahiran
Upacara pernikahan
Upacara penobatan batin
(orang yang dituakan atau pemimpin suku) baru.
Selain upacara yang berkaitan dengan lingkungan hidup (ife cycle)
ada juga upacara yang berkaitan dengan peristiwa alam diantaranya,
Upacara menanam padi
Upacara menyiang
Upacara sorang sirih
Upacara tolak bala.
Pada saat ini masyarakat suku sakai sudah mengalami perubahan
sebagian sudah memeluk agama Islam dan memperoleh pendidikan mulai Sekolah
Dasar sampai Perguruan Tinggi. Masyarakat Suku sakai tidak hanya bekerja
sebagai peramu tetapi sudah ada yang bekerja sebagai guru, pegawai negeri,
pedagang, petani dan nelayan. Walaupun sudah mengalami perubahan dalam
masyarakat sakai tetapi masih berkaitan dengan upacara daur hidup masih melekat
dalam kehidupan mareka. Masyarakat berpandangan apabila tidak melaksanakan
upacara tersebut akan mendapatkan musiah menurut kepercayaan mereka yaitu akan
diganggu oleh makhluk-makhluk gaib yang dinamakan antu (hantu).
B.
Upacara
pernikahan
Menurut kebudayaan orang sakai setiap orang boleh kawin dengan
siapa saja kecuali dengan orang yang di golongkan sebagai anggota keluarga,
yang tidak boleh dikawini adalah: ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak, bapak,
bapak angkat, bapak tiri, saudara sekandung, anak, dan saudara sepupu menurut garis
paralel (parallel cousi). Perkawinan antara paman dengan kemenakan juga di larang
kalau si kemenakan tersebut adalah kemenakan menurut garis paralel.
Perkawinan yang biasanya terjadi adalah perkawinan antara bujangan
dengan gadis,atau pasangan antara janda dengan duda. Tetapi ada juga perkawinan
yang terjadi dimana pihak laki-laki sudah beristri, sehingga mewujudkan adanya
keluarga yang poligami. Walaupun perkawinan poligami tidak di larang dalam
kebudayaan orang sakai tetapi jarang di lakukan karena pembiayaan mahal dan
juga karena pengorganisasian kehidupan rumah tangga di ladang tidak
memungkinkan perkawinan poligami dapat berlangsung dengan baik. Perkawinan
antara bujangan dengan gadis biasanya selalu di dahului dengan suatu masa
pertunangan: atau, kalau tdak ada masa pertunangan maka yang mereka lakukan
adalah kawin lari. sebelum di lakukan pertunangan atau kawin lari si bujang dan
si gadis sudah saling kenal mengenal secarah mendalam terlebih dahulu.
Perkenalan biasanya terjadi dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama
sehari-hari (yaitu karena rumah mereka berdekatan,karena mereka teman
sepermainan, atau karena kedua orang tua mereka sama sama terlibat dalam
kegiatan-kegiatan sosial dan ekonomiyang sama sehingga mereka sering bertemu
karena di suruh oleh orang tua mereka), atau dapat juga terjadi karena mereka
bertemu dan bersama sama memanen padi atau terlibat dalam kegiatan-kegiatan
bersama setelah panenan dalam membuat emping padi, atau dapat juga pertemuan
tersebut terjadi pada waktu mereka hadir bersama dalam pesta (olat) perkawinan.
C.
Upacara
kematian
Sebelum orang sakai memeluk agama islam dan Kristen maka jika ada
seorang sakai yang meninggal dunia, maka mayatnya diletakan ditengah-tengah
rumah. Para kerabat tetangga satu perbatinan diberitahu. Jika yang meninggal
seseorang pak kuneng atau saudara laki-laki ibu tertua dari ego harus segera
mengambil sebilah parang dan dengan parang tersebut melukai keningnya sampai
darahnya mengucur. Bila yang meninggal seorang yang masih muda maka pak kuneng
dari si mati melakukan hal yang sama. Darah yang mengucur tersebut harus
diteteskan ke muka dan dada si mayat, maksudnya adalah meminta maaf atas segala
kesalahan dan memaafkan segala kesalahan si mayat dan harapan supaya hidupnya
di alam kubur sejahtera hendaknya.
D.
Tolak
Bala
Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa contoh untuk upacara
tolak bala Orang Sakai yaitu pada saat seorang wanita yang sedang mengandung
dan sudah waktunya untuk sang wanita tersebut melahirkan, tetapi belum juga
melahirkan atau lebih lambat dari waktu yang diperkiran maka, upacara dikir
dilakukan yang tujuannya adalah untuk mengusir berbagai roh atau antu jahat
yang ada di rumah atu di ladang mereka yang mengganggu kelancaran kelahiran si
bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar