Kamis, 10 Mei 2018

Makalah Suku Anak Dalam


PENDAHULUAN

Orang Rimba atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu etnik tradisional yang ada di Indonesia. Mereka bermukim di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Secara administratif kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas terletak di antara tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun Bangko, Bunga Tebo dan Batang Hari. Tiga Kabupaten tersebut saling berbatasan di punggung perbukitan Bukit Dua Belas. Kawasan yang di diami Orang Rimba ini secara geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat, Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan ini pun terletak di antara beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung antara kota Bangko, Muara Bungo dan Jambi serta lintas timur Sumatera. Dengan letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah-tengah provinsi Jambi. 1 Orang Rimba merupakan sebutan diri bagi komunitas adat terpencil yang hidup dan tersebar dalam hutan di provinsi Jambi dan provinsi Sumatera Selatan.
2 Sebutan ini menurut mereka sebagai interpretasi dari kehidupan mereka yang sejak nenek moyangnya menggantungkan hidup pada hutan dan hasil-hasilnya. Pemerintah menamai komunitas ini dengan sebutan yang berubah-ubah sesuai dengan proyek yang akan diberlakukan untuk komunitas ini. Diawali dengan sebutan suku terasing, yang merupakan generalisasi untuk semua suku yang dianggap “belum hidup normal”. Kemudian mereka dinamai Komunitas Adat Terpencil, yang berikutnya disebut Suku Anak Dalam (SAD). Sedangkan istilah Kubu merupakan sebutan yang dilekatkan oleh masyarakat Melayu pada komunitas ini. Kubu diartikan hidup liar, kotor, bau, penuh dengan kekuatan mistis, bodoh dan tertutup. Makanya penyebutan kubu ini sangat ditentang oleh Orang Rimba, dan kemudian mereka menyebutkan identitas mereka sebagai Orang Rimba.3 Orang Rimba hidup dari meramu, berburu hasil hutan yang mengidentifikasikan diri mereka sebagai masyarakat rimba. Dari segi pola hidup dan hukum, komunitas ini sangat patuh terhadap aturan adat dan tabu-tabu yang mengatur perilaku mereka dengan begitu ketat.
Sejak ratusan tahun lalu, Orang Rimba telah hidup di provinsi Jambi. Mereka hidup bergantung dengan sumber daya yang disediakan alam secara melimpah. Hewan buruan, buahbuahan semua tersedia di alam. Namun semua hal ini mulai terdegradasi sejak masuknya pihak lain dalam mengelola sumber daya alam Orang Rimba. Diawali dengan kehadiran HPH (Hak Pengusaha Hutan), transmigrasi, perkebunan lahan hutan produksi (HTI) yang semuanya berada di kawasan hidup Orang Rimba.




PEMBAHASAN
A.     Asal Usul Suku Anak Dalam
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang.Tentang asal usul Suku Anak Dalam (Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang.Dari hakikat tersebut Muchlas menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002) (die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda. Apabila ditelisik, berbagai versi ceritayang dapat dikelompokkan ke dalam tiga versi tersebut memiliki kesamaan tent8ang asal usul orang rimba, yakni mereka berasal dari sukubangsa lain, baik suku bangsa Melayu maupun suku bangsa Minangkabau.
B.     Aliran Kepercayaan Suku Anak Dalam
Anthony F.C. Wallace dalam Haviland mendefinisikan agama sebagai upacara, yang diberi rasionalisasi mitos, danyang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan manusia atau alam. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan untuk menjelaskan makna hidup. dan untuk menjelaskan asal-usul kehidupan atau alam semesta. Dari keyakinan merekatentang kosmos dan sifat  manusia, orang memperoleh moralitas, etika, hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Orang Rimba percaya adanya Tuhan, namun wujud dan gambaran Tuhan sangat abstrak. Mereka berkeyakinan adanya makhluk halus yang ada di dunia, yang dapat berupa dewa, arwah orang yang sudah meninggal, yang mereka sebut sebagai malaikot dan silom atau siluman. Dewa-dewa, malaikot, dan silom hidup dalam dunia ghaib yang mereka sebut dengan halom dewo. Dewa dan Dewo ini mereka sebut dengan istilah orang.
Orang rimba mempercayai adanya para dewa dan fungsi dewa hanyalah sebagai perantara kepada Tuhan. Jika mereka ditanya siapakah tuhan orang rimba? Mereka hanya menjawab bahwa tuhan ada di atas langit. Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta dan seluruh isinya. Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu menjaga dan mengawasi umat manusia seperti yang dituturkan oleh Tumenggung Nggrip di Kedundung Muda, TNBD pada Desember 2013. Tumenggung
adalah sebutan bagi pemimpin orang rimba. Ada beberapa dewa yang diyakini keberadaannya
oleh orang rimba. Para dewa ini selain sebagai perantara kepada tuhan,
peran dewa salah satunya adalah menjaga dan dijadikan tempat perlindungan dan
pertolongan oleh orang rimba. Ada lebih dari seratus dewa yang diyakini oleh orang rimba. Setidaknya hanya ada sekitar delapan dewa yang paling sering dijadikan tempat pertolongan bagi orang rimba. Di antaranya adalah dewa Harimau, Dewa Trenggiling, Dewa Gajah, Dewa Kucing, Dewa Huluaye, Dewa Madu, Dewa Penyakit, dan Dewa Padi (Zuhdi: 8).

C.     POLA HIDUP DAN KEARIFAN LOKAL
Dalam hidup dan kehidupoan dalam TNBD Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan, dengan pola hidup antara lain sbb.
  1. Berburu binatang seperti Babi, Kera, Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas, merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.

  1. Meramu adalah jenis mata pencaharian lain yang dilakukan didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan, seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis, rebung, gadung, enau, dan rumbia.

  1. Mencari rotan, mengambil madu, menangkap ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya. Kini mereka juga telah mengenal pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang dan karet sebagai mata pencahariannya.
    Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.

  1. Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya. Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat duduk-duduk dan menerima tamu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar