PENDAHULUAN
Orang
Rimba atau yang dikenal dengan Suku Anak Dalam (SAD) merupakan salah satu etnik
tradisional yang ada di Indonesia. Mereka bermukim di kawasan Taman Nasional
Bukit Dua Belas. Secara administratif kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas
terletak di antara tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun Bangko, Bunga Tebo
dan Batang Hari. Tiga Kabupaten tersebut saling berbatasan di punggung
perbukitan Bukit Dua Belas. Kawasan yang di diami Orang Rimba ini secara
geografis adalah kawasan yang dibatasi oleh Batang Tabir di sebelah barat,
Batang Tembesi di sebelah timur, Batang Hari di sebelah utara dan Batang
Merangin di sebelah selatan. Selain itu, kawasan ini pun terletak di antara
beberapa jalur perhubungan yaitu lintas tengah Sumatera, lintas tengah penghubung
antara kota Bangko, Muara Bungo dan Jambi serta lintas timur Sumatera. Dengan
letak yang demikian, maka dapat dikatakan kawasan ini berada di tengah-tengah
provinsi Jambi. 1 Orang Rimba merupakan sebutan diri bagi komunitas adat
terpencil yang hidup dan tersebar dalam hutan di provinsi Jambi dan provinsi
Sumatera Selatan.
2
Sebutan ini menurut mereka sebagai interpretasi dari kehidupan mereka yang
sejak nenek moyangnya menggantungkan hidup pada hutan dan hasil-hasilnya.
Pemerintah menamai komunitas ini dengan sebutan yang berubah-ubah sesuai dengan
proyek yang akan diberlakukan untuk komunitas ini. Diawali dengan sebutan suku
terasing, yang merupakan generalisasi untuk semua suku yang dianggap “belum
hidup normal”. Kemudian mereka dinamai Komunitas Adat Terpencil, yang
berikutnya disebut Suku Anak Dalam (SAD). Sedangkan istilah Kubu merupakan
sebutan yang dilekatkan oleh masyarakat Melayu pada komunitas ini. Kubu
diartikan hidup liar, kotor, bau, penuh dengan kekuatan mistis, bodoh dan
tertutup. Makanya penyebutan kubu ini sangat ditentang oleh Orang Rimba, dan
kemudian mereka menyebutkan identitas mereka sebagai Orang Rimba.3 Orang Rimba
hidup dari meramu, berburu hasil hutan yang mengidentifikasikan diri mereka
sebagai masyarakat rimba. Dari segi pola hidup dan hukum, komunitas ini sangat
patuh terhadap aturan adat dan tabu-tabu yang mengatur perilaku mereka dengan
begitu ketat.
Sejak
ratusan tahun lalu, Orang Rimba telah hidup di provinsi Jambi. Mereka hidup
bergantung dengan sumber daya yang disediakan alam secara melimpah. Hewan
buruan, buahbuahan semua tersedia di alam. Namun semua hal ini mulai
terdegradasi sejak masuknya pihak lain dalam mengelola sumber daya alam Orang
Rimba. Diawali dengan kehadiran HPH (Hak Pengusaha Hutan), transmigrasi,
perkebunan lahan hutan produksi (HTI) yang semuanya berada di kawasan hidup
Orang Rimba.
PEMBAHASAN
A.
Asal Usul Suku Anak Dalam
Penyebutan Orang Rimba pertama kali dengan berakhiran
huruf ‘o’ pada disertasi tersebut dipertentangkan oleh beberapa antropolog
meski tidak ada perbedaan makna, tetapi akhiran ‘o’ pada sebutan Orang Rimbo
merupakan dialek Melayu Jambi dan Minang.Tentang asal usul Suku Anak Dalam
(Muchlas, 1975) menyebutkan adanya berbagai hikayat dari penuturan lisan yang
dapat ditelusuri seperti Cerita Buah Gelumpang.Dari hakikat tersebut Muchlas
menarik kesimpulan bahwa Anak Dalam berasal dari tiga turunan yaitu:
1.Keturunan dari Sumatera Selatan, umumnya tinggal di
wilayah Kabupaten Batanghari.
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
2.Keturunan dari Minangkabau, umumnya di Kabupaten Bungo Tebo sebagian Mersam (Batanghari).
3.Keturunan dari Jambi Asli yaitu Kubu Air Hitam Kabupaten Sarolangun Bangko (Muchlas, 1975)
Menurut Van Dongen (1906) dalam Tempo (2002),
menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya
masih sangat rendah dan tak beragama. mereka melakukan transaksi dengan
bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter, mereka meletakkannya di
pinggir hutan, kemudian orang melayu akan mengambil dan menukarnya.
Senada dengan Bernard Hagen (1908) dalam Tempo (2002)
(die orang kubu auf Sumatra) menyatakan orang rimba sebagai orang pra melayu
yang merupakan penduduk asli Sumatera. Demikian pula Paul Bescrta mengatakan
bahwa orang rimba adalah proto melayu (melayu tua) yang ada di semenanjung
Melayu yang terdesak oleh kedatangan melayu muda. Apabila ditelisik, berbagai versi ceritayang dapat dikelompokkan ke
dalam tiga versi tersebut memiliki kesamaan tent8ang asal usul orang rimba,
yakni mereka berasal dari sukubangsa lain, baik suku bangsa Melayu maupun suku bangsa Minangkabau.
B. Aliran Kepercayaan Suku Anak Dalam
Anthony
F.C. Wallace dalam Haviland mendefinisikan agama sebagai upacara, yang diberi
rasionalisasi mitos, danyang menggerakkan kekuatan-kekuatan supernatural dengan
maksud untuk mencapai atau untuk menghindarkan sesuatu perubahan keadaan
manusia atau alam. Banyak agama memiliki narasi, simbol, dan sejarah suci yang dimaksudkan
untuk menjelaskan makna hidup. dan untuk menjelaskan asal-usul kehidupan atau
alam semesta. Dari keyakinan merekatentang kosmos dan sifat manusia, orang memperoleh moralitas, etika,
hukum agama atau gaya hidup yang disukai. Orang Rimba percaya adanya Tuhan, namun
wujud dan gambaran Tuhan sangat abstrak. Mereka berkeyakinan adanya makhluk halus
yang ada di dunia, yang dapat berupa dewa, arwah orang yang sudah meninggal,
yang mereka sebut sebagai malaikot dan silom atau siluman.
Dewa-dewa, malaikot, dan silom hidup dalam dunia ghaib yang
mereka sebut dengan halom dewo. Dewa dan Dewo ini mereka sebut dengan
istilah orang.
Orang
rimba mempercayai adanya para dewa dan fungsi dewa hanyalah sebagai perantara
kepada Tuhan. Jika mereka ditanya siapakah tuhan orang rimba? Mereka hanya menjawab
bahwa tuhan ada di atas langit. Tuhan adalah yang menciptakan alam semesta dan
seluruh isinya. Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu menjaga dan mengawasi umat
manusia seperti yang dituturkan oleh Tumenggung Nggrip di Kedundung Muda, TNBD
pada Desember 2013. Tumenggung
adalah sebutan
bagi pemimpin orang rimba. Ada beberapa dewa yang diyakini keberadaannya
oleh orang
rimba. Para dewa ini selain sebagai perantara kepada tuhan,
peran dewa
salah satunya adalah menjaga dan dijadikan tempat perlindungan dan
pertolongan
oleh orang rimba. Ada lebih dari seratus dewa yang diyakini oleh orang rimba.
Setidaknya hanya ada sekitar delapan dewa yang paling sering dijadikan tempat
pertolongan bagi orang rimba. Di antaranya adalah dewa Harimau, Dewa
Trenggiling, Dewa Gajah, Dewa Kucing, Dewa Huluaye, Dewa Madu, Dewa Penyakit,
dan Dewa Padi (Zuhdi: 8).
C.
POLA HIDUP DAN KEARIFAN LOKAL
Dalam hidup dan kehidupoan dalam
TNBD Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan
memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan
pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya
dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan
perkebunan, dengan pola hidup antara lain sbb.
- Berburu binatang seperti Babi, Kera,
Beruang, Monyet, Ular, Labi-labi, Rusa, Kijang dan berbagai jenis unggas,
merupakan salah satu bentuk mata pencaharian mereka. Kegiatan berburu
dilaksanakan secara bersama-sama dengan membawa anjing. Alat yang
digunakan adalah Tombak dan Parang. Di samping itu untuk mendapatkan
binatang buruan juga menggunakan sistem perangkap dan jerat.
- Meramu adalah jenis mata pencaharian lain
yang dilakukan didalam hutan, yaitu mengambil buah-buahan dedaunan dan
akar-akaran sebagai bahan makanan. Lokasi tempat meramu sangat menentukan
jenis yang diperoleh. Jika meramu dihutan lebat, biasanya mendapatkan buah-buahan,
seperti cempedak, durian, arang paro, dan buah-buahan lainnya. Di daerah
semak belukar dipinggir sungai dan lembah mereka mengumpulkan pakis,
rebung, gadung, enau, dan rumbia.
- Mencari rotan, mengambil madu, menangkap
ikan adalah bentuk mata pencaharian lainnya. Kini mereka juga telah
mengenal pertanian dan perkebunan dengan mengolah ladang dan karet sebagai
mata pencahariannya.
Semua bentuk dan jenis peralatan yang digunakan dalam mendukung dalam proses pemenuhan kebutuhan hidup nya sangat sederhana sekali.
- Bangunan tempat tinggalnya berupa pondok yang
terbuat dari kayu dengan atap jerami atau sejenisnya. Konstruksi
bangunannya dengan sistem ikat dari bahan rotan dan sejenisnya.
Bangunannya berbentuk panggung dengan tinggi 1,5 meter, dibagian bawahnya
dijadikan sebagai lumbung (bilik) yang berfungsi sebagai tempat
penyimpanan padi. Ukuran bangunan sekitar 4 x 5 meter atau sesuai dengan
kebutuhan keluarga. Disamping bangunan tempat tinggal, dalam satu
lingkungan keluarga besar terdapat pondok tanpa atap sebagai tempat
duduk-duduk dan menerima tamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar