A.
Sejarah
suku sumba
Perkampungan orang Sumba umumnya didirikan di daerah perbukitan
dengan memilih suatu tanah datarnya sebagai tempat pusat orientasi ritual.
Dataran untuk upacara keagamaan ini mereka sebut paraing dan di dekatnya
didirikan rumah adat yang hanya didiami pada musim kemarau, karena pada musim
hujan mereka sibuk di ladang dan tinggal di pondok-pondok sementara. Rumah adat
yang disebut uma kabihu (rumah klan) itu memiliki atap model "joglo"
yang menjulang tinggi. Di lantai tertinggi di bawah atap itu adalah tempat
meletakkan barang-barang perlengkapan marapu, yaitu kepercayaan asli mereka.
Nama suku bangsa ini mungkin berasal dar kata humba, yang berarti
"asli". Mereka menyebut diri sebagai Tau Humba, atau penduduk asli
yang mendiami Pulau Sumba. Wilayah mereka sekarang meliputi Kabupaten Sumba
Barat dan Sumba Timur.
Sistem garis keturunannya adalah patrilineal, dimana keluarga inti
lebih suka mengelompok ke dalam keluarga luas terbatasnya yang membentuk lagi
kesatuan klan. Sistem kepemimpinan kerabat masih terasa pengaruhnya sampai
sekarang. Setiap klan memiliki seorang pemimpin yang disebut rato. Klan-klan
yang dominan menganggap diri sebagai bangsawan dan mereka biasanya disebut
golongan maramba. Golongan rakyat biasa disebut kabisu. Pada zaman dulu dikenal
pula segolongan hamba sahaya yang mengabdi kepada golongan maramba, mereka
disebut ata.
B.
Agama
dan kepercayaan suku sumba
Walaupun pada masa sekarang orang Sumba sudah banyak yang memeluk
agama Kristen dan Islam, akan tetapi yang masih terikat kepada kepercayaan asli
juga cukup banyak. Agama warisan kakek moyang orang Sumba disebut marapu,
lengkapnya marapu humba (agama leluhur yang asli). Mereka mengenal banyak
upacara seputar lingkaran hidup, terutama upacara-upacara yang berkaitan dengan
kematian dan kesuburan tanah.
Kepercayaan Marapu merupakan kepercayaan asli masyarakat Sumba.
Sesuai dengan Undang-undang no. 5/1969, Negara mengakui lima agama, yaitu
Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Sedangkan yang dimaksudkan dengan
“kepercayaan”mulanya suatu nama yang diberikan terhadap aliran-aliran kebatinan
di Jawa, untuk membedakannya dari lima agama resmi tersebut. Ketika lahirnya
Orde Baru aliran kebatinan ini berubah menjadi Aliran Kepercayaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa. Keyakinan religius yang dianut oleh suku-suku yang tersebar di
seluruh wilayah negri ini disebut dengan “kepercayaan”, begitu pula dengan
Marapu di Sumba, selalu disebut kepercayaan Marapu. Penyebutan ini datang dari
orang-orang di luar penganut Marapu sendiri, untuk membedakan dengan lima
(bahkan sekarang sudah enam: Konghucu), agama resmi tersebut. Buku Statistik
Sumba Barat Barat dalam angka tahun 2004 mencatat, kepercayaan Marapu masuk
dalam kolom yang diberi judul “lain-lain/others”. Ini berarti Negara tidak
mengakui Marapu sebagai satu “kepercayaan” seperti Kejawen di Jawa yang masuk
dalam kolom Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep Kepercayaan Marapu Ada beberapa pengertian dari kata
Marapu., L. Onvlee bahwa Marapu terdiri dari dua kata yaitu: ma dan rapu, ma berarti
“yang” dan rapu berarti “yang dihormati”, “yang disembah” (Kapita, 1976 a:87).
Menurut A.A.Yewangoe, kata Marapu terdiri dari ma dan rappu, kata ma artinya
“yang” dan kata rappu artinya “yang tersembunyi”, “yang tidak dapat dilihat”.
Kemudian Yewangoe memberikan kemungkinan lain dengan melihat kata mera dan appu,
kata mera artinya “serupa” dan appu artinya “nenek moyang”, jadi Marapu adalah
serupa dengan nenek moyang, Menurut Nggodu Tunggul, kata Marapu berasal dari
kata ma yang artinya “yang” dan rap-pu yang artinya “mengkristal ke dasar” yang
diartikannya sebagai “yang telah rampung”, “yang telah beres” “telah selesai.
Yang dim aksud dengan “telah rampung, telah beres, telah selesai” adalah dalam
hubungan dengan nenek moyang yang telah meninggal yang telah selesai dikuburkan
sesuai dengan aturan adat istiadat. Jasadnya telah dikuburkan dan jiwanya telah
berada di tempat Yang Ilahi dan dapat menjadi penghubung antara manusia dengan
Yang Ilahi. Pengertian yang lebih luas seperti yang dikatakan oleh C.Nooteboom
bahwa Marapu adalah kekuatan supra natura yang berpribadi atau pun tidak yang
tampil dalam berbagai bentuk dan juga dapat be rarti suci, sakti, mulia
sehingga harus dihormati dan tak dapat diperlakukan sembarang.
Pada prisipnya Marapu adalah roh-roh leluhur yang menjadi
cikal-bakal orang Sumba dan juga yang berpribadi. Mereka percaya bahwa roh-roh
tersebut dapat memberi berkat ataupun menghukum mereka. Kepercayaan Marapu
terkait erat dengan mitos-mitos religius yang berfungsi mempererat ikatan
persekutuan mereka. Marapu sebagai tokoh yang berpribadi, karena Marapu
diyakini sebagai leluhur pertama yang datang di Sumba, yang memberikan segala
bentuk tata cara dan adat istiadat demi kelangsungan hidup manusia. Para Marapu
sebagai leluhur berupa kekuatan-kekuatan gaib penghuni kosmos danpenghuni
“dunia seberang” (Wano Marapu). Yang dimaksud “dunia seberang” adalah satu dunia
yang tidak kelihatan dan diyakini dihuni oleh roh para Marapu yang mempunyai struktur
masyarakat yang sama dengan dunia manusia. Marapu dapat pula dimengerti dari
fungsinya, seperti Marapu penjaga perkampungan, dengan bentuk tugu batu atau
kayu. Marapu penjaga rumah, berbentuk tunggul kayu. Marapu di lahan pertanian,
berbentuk tunggul kayu atau batu. Hutan dan sungai berupa buaya atau ular.
Marapu yang menguasai kekuatan-kekuatan alam seperti hujan, badai dan petir.
Marapu kabizu biasanya berbentuk perhiasan emas/perak, atau tombak dan
giring-giring. Segala segi kehidupan orang Sumba (dari lahir sampai meninggal)
berada dalam pengawasan roh-roh para marapu.
Marapu merupakan mediator manusia dengan Sang Khalik. Karena itu
Marapu selalu disebut antara lain sebagai: Ina Pulu-Ama Kandouka (Ibu
pembicara-Bapa penutur); Andikita pala’o-Anon eka pamaina (yang beranjak ke
sana dan yang beralih ke mari); Apadukina mbara Ina-Apatomana mbara Ama (Yang
mengatakan kepada Ibu-Yang menyampaikan kepada Bapa). Keharmonisan hubungan manusia
dengan para Marapu harus selalu dipelihara yaitu dengan menjalani segala tata tertib
yang telah ditetapkan oleh para Marapu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar