Jumat, 11 Mei 2018

Profile Blog

Dosen Pengampu:




Nama                        : Siti Nadroh, M.Ag
T.T.L                         : Malimping, 14 - Juli - 1971
Riwayat Pendidikan  :

1. SD Malingping I dan MI Mathla’ul Anwar Malingping (1978 – 1984),
2. MTs Mathla’ul Anwar Malingping (1985 – 1987),
3. MAN Pemalang 3 Ciputat (1987 – 1990),
 4. S1 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1990 – 1994),
5. S2 Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang (1995 – 1996),
6. S3 IAIN Jakarta (1996 – 1997).




Pembuat Blog:




Nama                            : Angga Pratama 
NIM                             : 11160321000015 
Alamat                         : Bumi Di Pasena Jaya,Kec Rawa Jitu Timur, Tulang Bawang, Lampung 
Tempat Tanggal Lahir : Lampung 10 Maret 1996
 Hobi                           : Menolong Orang
 Cita-cita                      : Jadi orang baik









Nama                            : Rizki Hidayat
NIM                              : 11160321000026
 Alamat                         : Jombang, Sudimara, tang-sel
 Tempat Tanggal Lahir : Jombang 26 Febuaru 1997
 Hobi                            : Jalan jalan
Cita-cita                       : Menjadi Tokoh Revolusi

Makalah suku ende


A.    Sejarah kebudayaan suku ENDE-LIO di FLORES
Ende merupakan Kota Kabupaten yang terletak di tengah-tengah pulau Flores, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Di wilayah Kabupaten Ende terdapat dua (2) suku yang mendiami daerah tersebut, yakni suku Ende dan Suku Lio. Pada umumnya suku Lio bermukim di daerah pegunungan. Lokasinya sekitar wilayah utara Kabupaten Ende. Dan suku Ende bermukim di daerah pesisir yakni bagian selatan Kabupaten Ende.
Pada dasarnya, bentuk kebudayaan kedua suku ini hampir sama, yang membedakannya adalah hasil pencampuran kebudayaan atau akulturasi. Budaya suku Lio merupakan perpaduan suku asli daerah Lio dengan ajaran Kristen Katolik yang dibawah oleh bangsa Belanda. Sedangkan budaya suku Ende merupakan perpaduan budaya asli daerah Ende dengan budaya Islam yang dibawah oleh pedagang-pedagang dari Sulawesi, yakni Makasar.
Sebab akibat masuknya ajaran Islam yang dibawah oleh kaum pedagang dari Makasar adalah lokasi bermukim suku Ende yang terletak di daerah pesisir pantai. Mengingat jalur penghubung menuju daerah luar pada saat itu hanya melalui transportasi laut, maka hal itu juga yang menghubungkan jalur perdagangan, ditambah dengan sikap masyarakat suku Ende yang terbuka pada hal-hal baru; dengan sendirinya para pedagang tersebut merasa bahwa kedatangannya diterima.
Pada saat kapal niaga yang mengangkut para pedagang tersebut datang, mereka disambut baik dan ramah oleh masyarakat setempat. Merasa kedatangan mereka diterima, sebagian dari pedagang tersebut bahkan ingin menetap di daerah Ende dan menikah dengan orang-orang masyarakat suku asli Ende. Berhubung para pedagang dari Makasar tersebut telah terlebih dahulu memeluk Islam, maka mereka juga menyebarkan ajaran Islam pada masyarakat suku Ende yang waktu itu masih memeluk ajaran nenek moyang (animisme).
Keberadaan kampung tradisional sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan akan rumah dan kampung tempat tinggal bersama. Nenek moyang kedua etnis ini membangun rumah dan perkampungan adat dengan menggunakan teknologi dan arsitektur tersendiri sebagai manifestasi hasil cipta, karsa dan karya seni budaya di zamannya.
Sejarah membuktikan bahwa jauh sebelum peradaban modern, di wilayah Kabupaten Ende telah hidup nenek moyang dari dua etnis dalam satu peradaban yang telah maju di zamannya. Mereka memiliki kemampuan dalam mengekspresikan seni budayanya dalam bentuk karya sebuah perkampungan tradisional yang bernilai tinggi arsitekturnya sehingga hal ini menjadi bahan penelitian para pakar bangunan.
Perkampungan tradisional dengan bangunan-bangunan rumah adat dan bangunan pendukung lainnya seperti Keda, Kanga, Tubu Musu merupakan warisan leluhur, walaupun di beberpa tempat sudah mengalami perubahan dan kepunahan dari bentuk aslinya akibat proses alam, perjalanan waktu dan ulah manusia. Namun demikian tetap mempunyai nilai sejarah dan daya tarik bagi pencinta wisata budaya.
Rasa kebersamaan dan tanggung jawab untuk menjaga dan meneruskan warisan budaya nenek moyang masih mewarnai kehidupan masyarakat adat sekarang seperti dalam upaya membangun kembali kampung dan rumah adat di Nggela, Wiwipemo, Jopu, Mbuli, Wologai, Ndona dan beberapa tempat lain. Kegiatan ini berkembang menjadi atraksi wisata budaya. Beberapa tempat yang memiliki tradisi tersebut adalah kampung-kampung tradisional yang tersebar dalam wilayah Kabupaten Ende seperti Ranggase, Moni, Tenda, Nuakota, Pora, Wolojita, Wolopau, Nuamulu, Sokoria, Kurulimbu, Ndungga, Wololea, Woloare, Wolofeo, Saga, Pu’utuga, dll.
Salah satu perkampungan dan rumah adat tradisonal yang masih utuh bangunannya adalah di Ngalupolo, terletak di Kecamatan Ndona. Perkampungan tua yangm menarik dan mempunyai bentuk rumah yang unik dengan arsitektur khas Ende-Lio walaupun atapnya mirip Joglo seperti di pulau Jawa–namun berbeda latar belakang filosofisnya.
Rumah tinggal dan perkampungan tradisional yang dibangun nenek moyang tersebut, memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya sehingga tampak unik dan memberikan kedamaian bagi penghuninya.
Perjalanan waktu yang begitu panjang dan akulturasi budaya akibat masuknya etnis pendatang dari luar, seperti dari Bugis, Makasar dan Bima telah mempegaruhi kehidupan budaya masyarakat setempat. Pada awalnya nenek moyang Ata Ende membangun rumah dan perkampung adat sama seperti Ata Lio, namun pada perkembangannya mengalami perubahan yang kemudian disebut “Sa’o Panggo” atau “Tiga Tezu” (Rumah Panggung Tiga Kamar) dimana tiang dan lantainya terbuat dari balok kayu atau kelapa gelondongan, berdinding bambu, beratap daun kelapa atau sirap bambu dengan bentuk atap memanjang dan puncaknya dihias seperti sirip ikan. Rumah ini memiliki kolong.


Makalah suku Alas


Pendahuluan  
Keberagaman budaya suku bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang terdapat dalam tanah air kita ini. Hal itu pertanda Indonesia memiliki beragam kesenian yang tercipta dari masing-masing suku bangsanya.Setiap suku bangsa pasti memiliki ciri khas masing-masing, samahalnya dengan kesenian yang berasal dari masing-masing suku pasti memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri. Berbagai suku dari berbagai daerah di Indonesia melahirkan berbagai bentuk kesenian, baik berupa seni tari, seni musik, seni rupa dan seni drama.Menurut Susanne K. Langer, “Tari adalah bentuk yang diungkapkan manusia untuk dinikmati dengan rasa”,sedangkan menurut Soedarsono“Tari adalah ekspresi jiwa manusia yang dilahirkan melalui gerak yang indah dan ritmis”. Dari  pendapat mengenai tari dapat disimpulkan bahwa tari merupakan gerak-gerak yang disampaikan oleh tubuh sebagai media dan memiliki keindahan. Tari memilik elemen-elemen dasar yaitu:tema, gerak, iringan tari, tata rias,tata busana, tempat pementasan,setting, lighting, dan properti. Tari merupakan salah satu bagian dari kesenian yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat.Dapat disimpulkan bahwa suatu tarian bisa dikatakan sebagai ciri dari masyarakat tersebut.Kabupaten Aceh Tenggara adalah salah satu Kabupaten di Aceh,Indonesia. Aceh Tenggara didiami oleh berbagai macam suku, salah satu suku yang sangat mendominasi ialah suku Alas. Hampir tidak pernah terdengar sama sekali keributan yang melibatkan suku, agama, dan ras2 pada daerah ini dan masyarakatnya mampu menjaga perdamaian sampai saat ini.Suku Alas merupakan suku yang mendominasi di Kabupaten Aceh Tenggara, suku Alas sering disebut Ukhang Alas atau Kalak Alas sedangkan untuk daerahnya disebut dengan Tanoh Alas. Alas dapat diartikan tikar, penamaan tersebut dikarenakan wilayah tanah Alas membentang seperti tikar dan cocok sebagai daerah pertanian, dan juga masyarakat
Alas khususnya para wanita Alas sering menganyam tikar di sela-sela kesibukan mereka bertani Landok Alunmerupakan salah satu jenis tari tradisional yang ada dan tumbuh di suku Alas. Tari Landok Alun tercipta dan berkembang sekitar tahun 60-an didesa Telengat Pagan, Kecamatan Semadam, Kabupaten Aceh Tenggara dan diciptakan oleh masyarakat suk Alas.Tari Landok Alun, yang memiliki arti Landokberarti menari dan Alun berarti berlahan-lahan, sehingga Landok Alunberarti menari dengan perlahan atau menari dengan pelan dan lambat. Tarian ini diciptakan hanya untuk sekedar hiburan rakyat dan tarian ini ditarikan oleh dua sampai empat orang penari pria.Alunberarti lambat,ruang gerak tarian Landok Alunini tidak jauh berpindah-pindah Menurut sejarah,Landok Alun berawal saat masyarakat mencari dan menemukan lahan pertanian yang lokasinya sangat luas, rata dan mudah mendapatkan air untuk diolah menjadi lahan pertanian, dalam proses pencarian lahan pertanian maka lahan yang dicari berhasil ditemukan, disitulah para pencari merasa sangat gembira dan 3 bersyukur karena telah menemukan lahan yang diinginkan. Kemudian mereka menceritakan kronologi pencarian lahan hingga menemukan lahan tersebut kepada teman-teman sekampung, semua yang mendengar terpukau dan merasa terhibur atas peragaan gerakan-gerakan yang mereka lakukan saat menemukan lahan tersebut, mereka merasa terhibur dan mengulangi gerakan gerakan tersebut serta di angkat menjadi sebuah tarian.



Pembahasan
Sejarah suku alas
Ukhang Alas atau biasa disebut juga khang Alas atau Kalak Alas telah lama bermukim di lembah Alas, hal ini dibuktikan jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas telah tercatat dalam sebuah buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781:8), bila dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325 (Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Nama Alas diperuntukan bagi seorang atau kelompok etnis, sedangkan daerah Alas disebut dengan kata Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922:64) kata "Alas" berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing) keturunan Raja Pandiangan di Tanah Batak. Beliau bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Menurut Iwabuchi (1994:10) Raja yang pertama kali bermukim di Tanoh Alas adalah terdapat di Desa Batumbulan yang dikenal dengan nama RAJA LAMBING, keturunan dari Raja Pandiangan di Tanah Batak. Raja Lambing adalah moyang dari merga Sebayang di Tanah Karo dan Selian di Tanah Alas. Raja Lambing merupakan anak yang paling bungsu dari tiga bersaudara yaitu abangnya tertua adalah Raja Patuha di Dairi, dan nomor dua adalah Raja Enggang yang hijrah ke Kluet Aceh Selatan, keturunan dan pengikutnya adalah merga Pinem atau Pinim.
Mata pencharian
Mata pencaharian suku Alas adalah pertanian dan peternakan. Pertanian dapat berupa menanam padi, karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan untuk peternakan mereka memelihara kuda, kambing, kerbau, dan sapi.
Agama
Suku Alas menganut ajaran agama Islam. Tetapi masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian.
Bahasa
Bahasa yang digunakan adalah Bahasa Alas (Cekhok Alas) Bahasa ini merupakan rumpun bahasa dari Austronesia suku Kluet di kabupaten Aceh Selatan juga menggunakan Bahasa yang hampir sama dengan bahasa suku Alas.

Upacara adat istiadat
Upacara adat istiadat yang ada dalam masyarakat suku Alas adalah ‘Turun Mandi’, ‘Sunat Khitan’, ‘Perkawinan’, dan ‘Kematian’. Pada setiap kegiatan ini dikenal beberapa budaya tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan posisinya dalam struktur kekerabatan. Ada tiga struktur kekerabatan dalam suku Alas yaitu Wali, Sukut/Senine, dan Pebekhunen/Malu. Adapun bentuk tolong-menolong yang dilakukan adalah

1. Pemamanen, yaitu panggilan yang diberikan kepada rombongan yang datang dari pihak Wali yaitu ayah dan saudara lelaki dari perempuan (Malu) yang mempunyai hajatan. Pada setiap acara adat Alas, pemamanen mempunyai peran penting karena mereka adalah tamu yang dimuliakan. Dalam setiap kegiatan mereka akan membawa bantuan kepada tuan rumah dan biasanya bantuan ini dalam bentuk materi atau sejumlah uang. Semakin tinggi nilai bantuan maka semakin tinggi pula prestige yang mereka dapatkan. Begitupula tuan rumah merasa lebih dihormati dan dimuliakan. Slogan yang menjadi failosofi budaya ini adalah Besar wali karena malu, besar malu karena wali.
2. Tempuh, artinya bantuan yang diberikan oleh saudara dekat atau diistilahkan dengan kelompok sukut artinya orang yang punya kerja (saudara kandung atau masih mempunyai pertalian darah dan marga). Bantuan ini terkadang ditentukan dalam musyawarah keluarga, namun terkadang juga tidak ditentukan, sehingga pemberian didasarkan oleh kesadaran masing-masing yang disesuaikan dengan kemampuannya, serta bergantung pula pada jauh dekatnya pertalian kekerabatan yang dimiliki.
3. Nempuhi Wali artinya membantu wali, bantuan ini diberikan oleh Malu yaitu anak perempuan atau saudara perempuan yang sudah kawin dan pebekhunen yaitu suaminya kepada pihak wali yang mempunyai hajatan/acara adat. Dalam setiap kegiatan bantuan yang mereka berikan adalah dalam bentuk tenaga, misalnya bertanggung jawab di dapur dalam menyiapkan hidangan dan membereskannya. Sebenarnya Nempuhi Wali ini merupakan kewajiban yang ditetapkan dalam budaya suku Alas tidak hanya pada kegiatan yang menyangkut adat-istiadat, tetapi juga pada kegiatan lainnya dalam kehidupan sehari-hari seperti membantu di sawah dan lain-lain.
Marga
Menurut buku Sanksi dan Denda Tindak Pidana Adat Alas, Dr Thalib Akbar MSC (2004) adapun marga–marga etnis Alas yaitu : Bangko, Deski, Keling, Kepale Dese, Keruas, Pagan, dan Selian kemudian hadir lagi marga Acih, Beruh, Gale, Kekaro, Mahe, Menalu, Mencawan, Munthe, Pase, Pelis, Pinim, Ramin, Ramud, Sambo, Sekedang, Sugihen, Sepayung, Sebayang dan marga Teriga



Kamis, 10 Mei 2018

VIDIO OBSERVASI

 VIDIO OBSERVASI SUKU BADUY







Vidio Suku ENDE

1.     ACARA ADAT FLORES 
           Sewu Api dalam bahasa Lio, Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, berarti memadamkan api. Sewu Api merupakan sebuah upacara adat, yang diselenggarakan setiap akhir tahun oleh Suku Lio, yang sebagian besar warganya mendiami daerah sepanjang pesisir utara Kabupaten Ende. Upacara Adat Sewu Api bertujuan untuk mengakhiri musim kemarau dan mengawali musim tanam. Selain itu, acara ini untuk syukuran atas keberhasilan sekaligus mendoakan kesuburan pada musim tanam yang akan dating






2. JEJAK ANAK NEGERI - ACARA ADAT MASYARAKAT SUKU LIO ENDE 
          Masyarakat adat Ende Lio menjadi salah satu suku besar di tengah Pulau Flores. Seperti masyarakat adat Ende lainnya, disini adat dan budaya masih dijunjung tinggi dan penting dalam kehidupan keseharian warganya. Salah satunya adalah tradisi Gunting Rambut atau Guti Fu, yang merupakan wujud syukur atas kehidupan yang telah diberikan.  






3.      KOTA ENDE FLORES – NTT
            Suku Ende, merupakan satu dari dua suku yang menjadi mayoritas di kabupaten Ende di pulau Flores provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia.Suku Ende di kabupaten Ende hidup bersama dengan suku Lio yang juga mendiami daerah ini. Suku Lio sebagai suku tetangga suku Ende pada umumnya hidup di daerah pegunungan. Sedangkan suku Ende bermukim di daerah pesisir di sekitar bagian selatan kabupaten Ende.







4.      SAGA Kampung Adat di Ende Flores
        Salah satu entitas budaya yang masih terus dipertahankan keberadaannya hingga kini oleh masyarakat adat Flores pada umumnya dan Ende-Lio pada khususnya yakni rumah adat. Dalam bahasa Ende-Lio, rumah adat dikenal dengan sebutan sa'o nggua.
          Seperti halnya di daerah-daerah lain di Flores, pemaknaan terhadap rumah adat dalam tradisi budaya Ende-Lio menegaskan identitas historis, simbol kewibawaan para pemangku adat (mosalaki), pusat segala ritual adat serta roh pemersatu masyarakat adat. Dengan keyakinan ini, lazimnya rumah adat selalu dibangun di tengah-tengah kampung yang dilengkapi dengan barang-barang warisan leluhur seperti gendang (lamba), gong (nggo), tempat sesajian (bhaku), mesbah persembahan (musu mase/tubu musu) juga pakaian adat









Jurnal Suku ENDE

1.            Arsitektur tradisional sao keda Suku Ende Lio benar-benar merupakan ungkapan dan cerminan sosial budaya masyarakatnya, sebagaimana dijelaskan didalam bagianbagain strukur konstruksi  yang ada di permukiman adat desa Wolotolo. Sehingga setiap hasil karya yang diciptakan tersebut benar-benar mempunyai landasan yang kuat dan khas, baik strukturnya, bentuk, tata ruang, dan juga pemakaian ornamenornamennya. Bentuk yang khas dan spesifik tersebut mampu menampilkan bentuk yang selaras dengan lingkungannya, walapun ada kontradiksi bentuk yang ditemukan tetapi ada keserasian antara alam dan lingkungan binaan yang diciptakan. Sehingga bentuk yang mempunyai dasar yang kuat dan ciri khas tersebut mudah diingat dan dikenal orang pengamat sebagaimana elemen-elemen yang ditampilkannya secara kompak dan menyatu.




2.        Kerajaan Ende muncul menjelang kedatangan Islam di Flores Nusa Tenggara Timur. Kekuatan Portugis terbatas hanya di bagian Timur Flores seperti Larantuka dan Sikka. Sementara itu, Islam berpengaruh dibagian Barat Flores. Area tenang seperti Ngada yang masih didominasi paham animisme.Perkembangan Islam di Flores didominasi oleh faktor politik ketika perluasan Kesultanan Sumbawa dan Goa Makassar. Faktor lainnya, yaitu kondisi alami atas perkembangan penduduk yang menimbulkan pola komunikasi sulit di antara sesama penduduk. Pendidikan Islam belum berkembang, sehingga Islam tidak begitu berkembang, seperti di daerah lain Sumantera, Jawa dan Sulawesi. Artikel ini, mencoba menghadirkan beberapa informasi yang menjadi pengimbang dalam peran agama. Pada beberapa publikasi Sejarah Kerajaan Ende sangat terbatas, sehingga memperburuk keberadaan Kesultanan Islam di Flores.  



3.Permukiman Adat Desa Wolotolo merupakan bagian dari permukiman Suku Ende Lio yang berada di Kabupaten Ende. Jarak permukiman Adat Desa Wolotolo dari pusat Kota Ende Sekitar 20km. Seperti permukiman Suku Ende Lio pada umumnya, Desa Wolotolo sendiri merupakan desa yang masih menjaga adat istiadat budaya Suku Ende Lio. Hal ini bisa dilihat dari pola permukimannya yang masih memegang nilai-nilai budaya dan tradisi setempat.  Permukiman adat Suku Ende Lio di Desa Wolotolo dipimpin oleh empat Mosa Laki (Kepala Suku) dan tujuh Kopo Kasa (Wakil Kepala Suku). Kepala Suku dan Kopo Kasa memegang peranannya masing-masing sesuai dengan tugas yang diamanatkan turun temurun dari nenek moyang sebelumnya. Keempat Kepala Suku bertempat tinggal di sao ria (Rumah Besar) masing-masing.. 




4.           Masyarakat Indonesia, khususnya di wilayah Indonesia Timur sebagai salah satu wilayah persebaran penduduk Austronesia di Asia Tenggara, menjadi wilayah kajian Antropologi sejak era kolonial Belanda. Pada tahun 1935, J.P.B. de Josselin de Jong memperkenalkan konsep dasar kajian-kajian pembahasan dengan judul “De Maleische Archipel als ethnologisch studieveld” di Universiteit Leiden. Konsep dasar ini secara garis besar membahas mengenai adanya kesamaan dan keselarasan dari karakteristik budaya yang umum ditemukan dan direfleksikan dalam kebudayaan-kebudayaan masyarakat Indonesia. Hal ini pun kemudian berkaitan erat dengan tulisan “Sociale structuur typen in de Groote Oost,” yang ditulis oleh F.A.E. van Wouden di tahun yang sama. Menurut van Wouden suku bangsa di wilayah Nusa Tenggara khususnya, memiliki tipe struktur sosial yang menunjukkan pola yang sama. Selain itu, hasil penerapan metode komparatifnya pada suku bangsa di pulau Sumba, Flores, Buru, Ambon, Seram dan Timor, mengenai sistem klen, mitos-mitos, dan pengorganisasian sosial, serta bentuk kesatuan-kesatuan politik asli menunjukkan pola yang kurang lebih sama (van Wouden 1935). Seperti adat perkawinan sepupu silang (cross cousin marriage) merupakan karakteristik budaya yang umum terdapat dalam suku bangsa tersebut. Kajian-kajian Antropologi yang berlandaskan konsep ESV (etnologisch studie veld) merupakan cerminan perkembangan aliran strukturalisme Leiden ketika itu.







Vidio Suku Anak Dalam

1.Kehidupan Orang Rimba


        Di tengah puluhan ribu pohon kelapa sawit ini terdapat sebuah sesudongan, rumah yang didirikan Suku Anak Dalam (SAD). Rumah ini dibangun menggunakan tiang dari batang kayu, beratap plastik, tanpa dinding, dan lantai dari belahan kayu yang disusun rapi. Luas sesudongan ini berkisar 2 x 4 meter.







2.Hikayat Orang Rimba

           Jauh di belantara hutan Jambi, hidup orang adat yang memilih menghindar dari hingar bingar gerak zaman, dan sepenuhnya hidup menyatu dengan rimba raya. Mereka menyebut diri sebagai orang rimba, penjaga benteng terakhir ruang hidup mereka di Bukit Duabelas, kabupaten Sarolangun. Jambi. Tercatat, dari sekitar 4000 orang rimba di Jambi, hampir separuhnya kehilangan hutannya. Perusakan dan perambahan hutan, hingga alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit memaksa orang rimba perlahan tersisih dari rumah tempat tinggal mereka. Tanpa rimba, mereka bukanlah orang rimba. Ribuan orang rimba kini hidup di bawah hijaunya sawit, tumbuhan yang tak berarti apapun bagi kepercayaan mereka.










3. Menjaga suku Anak Dalam

            Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari wilayah Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem kekeluargaan matrilineal.